Langsung ke konten utama

Etika Administrasi Publik



Jurnal ilmiah yang saya ambil berjudul ETIKA BIROKRASI DALAM SISTEM PELAYANAN PUBLIK PADA LEMBAGA PEMERINTAHAN INDONESIA. Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa lembaga pemerintah Indonesia dalambeberapa bidang masih jauh dari etika administrasi publik yang ada. Implementasi etika administrasi tidaklah merata, hal inilah yang dapat menghambat pembangunan karena etika administrasi publik itu sangat mempengaruhi sikap dari para administrator publik, dan jika para administrator publik memiliki etika yang sudah baik maka pembangunan akan berjalan dengan baik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi dan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik.

Disamping itu dapat dipakai ukuran nilai atau standar penilaian perilaku, apakah kebijakan itu dijalankan dengan baik. Administrasi negara (birokrasi publik) dipandang telah melenceng dari yang seharusnya (Applebei 1952). Administrasi negara (birokrasi publik) selalu dilihat sebagai masalah teknis, bukan dilihat masalah moral sehingga timbul dari berbagai persoalan dalam bekerjanya Administrasi negara (birokrasi publik) (Golembiewski, 1965). Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai organisai yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakat dengan ketiadaan nilai-nilai moral dan etika yang berpusat pada manusia (Hammel, 1987).

Deontologi suatu tidakan dikatakan baik bukan karena tujuan atau akibatnya baik, tetapi karena kewajiban yang memang tidakan itu harus dilakukan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu baik atau buruk. Lalu bagaimana administrasi publik (birokrasi publik) dalam melaksanakan tugasnya dilakukan berdasarkan kewajiban yang di embannya. Dengan demikian tugas-tugas dapat dilakukan dengan penuh tanggung jawab, tidaksekedar main-main. Fox (1994), antara lain mengetengahkan tiga pandangan yang menggambarkan pendekatan deontologi dalam etika administrasi Pertama, pandangan mengenai keadilan sosial, yang muncul bersama berkembangnya Administrasi Negara Baru (Frederickson dan Hart, 1985). Menurut pandangan ini administrasi negara haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh posisi yang senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan, administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi.

2. Dewasa ini para pejabat administrasi banyak yang terjerat dalam kasus-kasus yang bertentangan dengan etika seperti penyuapan, korupsi dan gratifikasi serta tindakan asusila lainnya. Kasus yang saya ambil adalah Gubernur Sulawesi Utara yag korupsi. Korupsi yang dimaksud disini bukanlah korupsi uang, namun korupsi wewenang. Gubernur Sultra tersebut dianggap melakukan penyelewengan wewenang dalam memberikan izin pertambangan nikel.

Korupsi berasal dari kata Latin corrumpere, corruptio atau corruptus yang berarti penyimpangan dari kesucian, tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia, korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Ada dua macam korupsi yaitu korupsi uang dan korupsi waktu (Kumorotomo : 2008). Menurut KPK, suap adalah setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pemerasan adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Gratifikasi adalah hadiah yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara di luar gaji atau pendapatan resmi. Pemberian itu bisa berbentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket, fasilitas wisata, fasilitas perjalanan dan fasilitas lainnya seperti kepuasan seksual. Korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment). Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara, secara langsung maupun tidak langsung (Kumorotomo, 1999 :179). Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas menjadi penyebab banyaknya penyelewengan. Orientasi birokrasi yang ke atas tampak dari kebiasaan sebagian besar pejabat untuk melapor kepada atasan dengan bertandang ke kediamannya, meminta petunjuk dan menganggap bahwa segala sesuatu yang direncanakan oleh pusat itu baik untuk diterapkan di tingkat lokal. Yang menjadi masalah dalam hal ini, jika semua pejabat hanya bertugas melapor pada eksekutif puncak, siapa yang akan mengawasi eksekutif puncak itu sendiri (Kumorotomo, 1999 : 207). Pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah juga sering kali bermasalah, baik dari segi kualitas barang yang tidak sesuai maupun adanya unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara pejabat pemerintah dengan para penyedia barang atau jasa. Upaya untuk memberantas praktek-praktek KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa berkembang semakin kuat dengan semakin tumbuhnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat, terutama dalam bentuk pengawasan terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.



Di samping itu etika juga mempengaruhi bukan saja perilaku para penyelenggara administrasi publik tetapi perilaku dari masyarakat yang menjadi objek penetapan kebijakan. Birokrasi sebagai penyelenggara administrasi publik bekerja atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa rakyat berharap adanya jaminan bahwa dalam menjalankan dan memanfaatkan kekuasaannya etika senantiasa dijadikan dasar bagi para pemimpin. Apabila etika yang ada pada pemimpin tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat maka legitimasi tidak akan mampu tercapai. Seperti kasus Gubernul Sultra ini, sebagai pejabat negara mestinya yang bersangkutan bisa memberikan contoh kepada publik namum malah memetahkan kepercayaan publik. Dalam sumpah janji kepala daerah, Nur Alam memiliki kewajiban taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Undang-Undang Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Komentar