Langsung ke konten utama

GLOBALISASI TEORI PEMBANGUNAN


Bab terdahulu telah membahas dua macam bias dalam teori pembangunan, endogenisme dan eksogenisme, yang terkait satu sama lain terkait tesis dan anti tesis. Dalam dunia nyata, tidak ada negara yang benar-benar otonom dan sepeuhnya mandiri. Semua negara salingbergantung satu sama lain, dan bergantung pada sistem yang di dalam nya mereka ambil bagian, baik dalam jenis maupun taraf nya. Kenyataan ini sering kali dilukiskan sebagai ketergantungan satu sama lain (interdependence), konsep yang terbuka bagi penafsiran yang berbeda-beda.


· Bagi sebagian orang, gagasan tersebut merupakan konsep ketergantungan yang dimurnikan, yang menyarankan sebuah struktur perekonomian dunia yang lebih rumit daripada sekedar ekonomi pusat-pinggiran.


· Bagi sebagian lainnya,gagasan mengenai ketergantungan satu sama lain menggambarkan kesusahan bersama masyarakat dunia.

Karena itu, ketergantungan satu sama lain atau “ketergantungan satu sama lain global”, merupakan inovasi konseptual yang ambigu dan frelatif sedikit gunanya. Karena itu dapat dijadikan titik tolak untuk meneliti berbagai pendekatan terhadap analisis pembangunan dalam perspektif global.


4.1 Dari Ketergantungan ke Ketergantungan Satu Sama Lain

Ketergantungansatu sama lain tidak hanya menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, melainkan juga mengandung berbagai dimensi yang berbeda, misalnya dimensi fisik, politik dan ekonomi.dalam hal ini juga akan dibahas tentang NIB (Negara-negara Industri Baru) yang pembangunan spektakulernya terkait dengan apa yang terjadi “di luar sana” dalam perekonomian dunia.

4.1.1 Munculnya Kesadaran Keplanetan
Satu dimensi yang jelas dari ketergantungan satu sama lain adalah gagasan yang bersifat fisik, biologis dan ekologis mengenai keseluruhan dan keterbatasan yang tercermin mengenai keseluruhan dan keterbatasan yang tercermin dalam konsep seperti “Bumi sebagai Kendaraan Bersama Umat Manusia” dan “Penjamuan Global”.
Konferensi PBB megenai lingkungan (1972) menekankan bahwa sistem ekologis tidak banyak berhubungan dengan batas-batas nasional. Karena itu, pembuatan model global dan teori sistem fisik menjadi mode dan setelah sepuluhtahun kebijakan konvensional “realis” berkuasa, “model tatanan dunia” yang secara eksplisit normatif juga dianggap sebagai persoalan akademik yang legitin.
Reorientasi pada level teori, ideologi, politik dan kesadaran soasial mencerminkan perubahan struktural ekonomi dunia yang dapat dirunut sampai ke periode langsung sesudah perang dunia II. Oleh karena itu, menjadi tidak begitu aneh dibandingkan awalnya bahwa fenomena saling tergantung umumnya diakui hanya bila kecenderungan menuju integrasi hancur. Fakta inilah yang membuat masalah ketergantungan satu sama lain begitu jeas dan konkret.

Tatanan dunia merupaan fenomena suprstruktural. Karena itu, perlulah juga memahami pembangunan infrastruktural. akan tetapi berbeda dalam persoalan yang krusial dimana kita berada pada dalam proses transisi.

4.1.2 Perekonomian Dunia dalam Transisi
Dalam konteks ini, hanyaakan membuat sedikit observasi empiris sebagai latar belakang yang diperlukan, terhadap globalisasi teori ekonomi, yang memusatkan diri pada beberapa ringkasan isu kunci :
· Aliran uang dan pola investasi.
· Perubahan teknologi dan internasionali produksi.
· Perdagangan atau rezim internasional.
Titik tolak pada hal ini tentang isu pertama yaitu kenaikan dramatis harga minyak di awal 1970-an, yang memicu, bukan menyebabkan, kelongsoran berikutnya. Pada tahun tersebut pola inestasi internasional berubah, pada fase pertama, dari pusat industri tradisional di Eropa ke pinggiran Eropa dan pada fase kedua, ke negara manapun di Dunia Ketiga yang mempunyai cukup tenaga kerja, stabilitas politik dan insentif lain biasanya digambarkan sebagai “iklim investasi yang cocok”.

Realokasi investasi padatahun 1970 ini bergantung pada sejumlah perkembangan teknologi.
· Kemajuan dalam bidang komuikasi dan informasi yang memungkinkan pengambilan keputusan yang cepat tentang mendapatkan keuntungan dari struktur global.
· Kemajuan teknologi transportasi yang memperkecil arti jarak geografis.
· Kemajuan teknologi dan organisasi buruh yang membuat proses produksi yang kompleks menjadi mudah.

4.1.3 Model NIB dalam Tinjauan Kembali
Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, pengalaman NIB (Negara Industri Baru) diguanakan sebagai konsep utama untuk menyangkal teori ketergantungan dan berlaku sebagai model untuk ditiru pada 1980-an. Dengan demikian, model ini perlu mendapat perhatian seksama.
NIB sendiri adalah konsep yang meringkaskan gelombang indutri-aliansi yang paling mutakhir pada sejumlah negara-negara tertentu di kawasan Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Eropa Selatan.
Di negara-negara tersebut bahkan adayang memaksakan kekuasaan besar pada rezim poitiknya, legitimasi mereka terkikis. Sedikit bagi mereka yang memiliki koherensi sosial dan politik yang memadai untuk menerapkan strategi NIB, yang selalu harus menyimpang dari ortodoksi.

Negara yang berhasil mengubah struktur keunggulan komparatif dan posisi mereka dalam pembagian kerja internasional (NIB) ada di tengah-tengah. Mereka mengikuti kebijakan paham pembangunan otoriter: mengambil keuntungan dari kekuatan pasar dunia dengan bantuan intervensionisme sebesar apapun yang dianggap perlu.

4.2 Menganalisis Pembangunan Dunia
Sekelompok aliran yang berorientasi pada “sitem-dunia” telah mucul. Yang sama pada mereka adalah konseptualisasi pembangunan yang global. Kendatipun kedua bidang akademis tersebut semakin terjalin, di sini akan tetap berfokus lebih pada aspek pembangunan daripada aspek kekuasan.

4.2.1 Pendekatan Sistem-Dunia
Analisis sistem-dunia membut terobosan spektakuler padapertengahan 1970-an, namun mulai sekarang juga menerima banyak kritik. Banyak cercaan berlebihan yang dialamatkan pada pendekatan ini dan sebagian tidak mengenai pokoknya.
Pendekatan sistem-dunia sebaiknya dipahami sebagai proyek teoritis (Taylor 1986) dengan tujuan memperbaiki kelemahan yang diacu. Pendekatan sistem-dunia menyatakan bahwa perekonomian dunia kapitalis telah ada sejak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan sejumlah masyarakat yang sebelumnya sedikit atau banyak terisolasi dan mencukupi diri sendiri ke dalam sistem hubungan fungsional yang kompleks.

Sistem-dunia sendiri adalah suatu sistem sosial, yang menurut Wallerstein, ditandai oleh kenyataan bahwa dinamikanya bersifat internal. Proposisi bahwa dinamika sistem ini bersifat internal, secara tidak langsung menunjukkan internalisasi faktor-faktor eksternal. Jadi, persoalan faktor eksternal versus faktor internal, yang menyebabkan kesulitan besar bagi para teoritikus ketergantungan, seolah-olah terpecahkan.

Dalam perspektif sistem-dunia, proses keterbelakangan dimulai dengan penggabungan kawasan eksternal tertentu ke dalam sistem dunia yaitu periferalisasi. Contohnya dalah pada Afrika, dari perspektif sistem-dunia, penafsiran “Eropasentris” maupun “Afrikasentris” terhadap sejarah Afrika bisa mengecoh.
· Tahap pertama periferalisasi Afrika adalah periode 1750 hingga 1900. Sebelum itu afrika dan Eropa hanyalah arena eksternal satu terhadap lainnya.
· Tahap kedua harus dilihat tentang apa yang disebut sebagai “perjuangan bagi Afrika”, yang akhirnya mengarah pada pembagian dan dimanfaatkannya Afrika sebagai kawasan industri pusat.
· Tahap ketiga, lebih mudah mengenali pandangan aliran ketergantungan sebagai pandangan yang agak suram. Proses akan terus terjadi hingga berakhir pahit.
Kesimpulannya adalah bahwa kawasan eksternal yang masih ada selama lima tahun mendatang semuanya akan masuk ke dalam sistem-dunia, dan bahwa proses ekspansi kapitalis, yang dimulai sejak abad ke-16, akan menjadi sempurna.


4.2.2 Marxisme Kontemporer dan Dunia Ketiga
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan Karl marx. Marxisme adalah buah karya intelektual, lantaran doktrinnya digunakan secara politik dan menghadirkan fenomena intelektual yang penting sampai saat ini. Nilai intelektual marxisme pada umumnya tidak hanya bersifat sejarah namun sampai saat ini masih memiliki relevansi intelektual. Karya Marx mengandung penyataan-pernyataan kaya makna tentang unsur dan struktur masyarakat yang perlu menjadi perhatian, terlepas dari masalah politik atau ideologi.[1] Konsep awal yang paling mendasar menurut karl marx adalah segala perubahan yang terjadi dalam sosial masyarakat disebabkan oleh struktur ekonomi pada sosial masyarakat tersebut. Sebuah ekonomi yang unggul dalam masyarakat akan membentuk dan mewarnai seluruh sosial masyarakat.

Marxisme adalah sebuah pandangan perjuangan bagi kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme. Di sini dijelaskan tentang perjuangan para buruh untuk bangkit dari keterpurukan yang selama ini mereka alami. Dengan adanya filsafat yang dikemukakan oleh karl marx tentang marxisme banyak membantu para buruh untuk bangkit dari penindasan. Pemikiran karl marx ini ditujukan kepada rakyat buruh (khususnya) dan juga kepada kaum intelektual (umumnya). Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya.

Selain dari pada membahas tentang keterpurukan para buruh, akan tetapi juga mengacu pada sistem sosial, politik, sosialisme demokrasi dan ekonomi. Selain itu Menurut David Marsh&Gery Stoker dalam karyanya Teori dan Metodologi Ilmu Politik. Mereka membagi marxisme menjadi dua periode yaitu periode marxisme klasik dan marxisme kontemporer. Ada empat “Isme” terkait yang biasanya di hubungkan dengan Marxisme klasik:ekonomisme, determinisme, materialisme, dan strukturalisme.

Bayangan Mark mengenai masa depan, dan nilai-nilai dasarnya sendiri, memasukkan unsur-unsur anarkisme dan komunisme. Akibat-akibat politik yang paling nampak dari Marxisme sangat tepat apabila dinamakan sosialisme otoriter, meskipun beberapa pihak akan mendesak bahwa otoriterisme adalah lebih fasis dari pada sosialis. Perhatian Marx itu sendiri di pusatkan pada ciri-ciri ekonomi dan akibat-akibat politik dari liberalisme klasik. Dan implikasi logis dalam determinisme faham Marx pada hakikatnya bisa di pandang sebagai konservatif. (kenyataannya, apakah sesuatu bisa dilakukan atau tidak untuk mempercepat kapitalis, dan sosialis, perkembangannya merupakan masalah utama yang membagi Marxis dalam kubu-kubu yang saling bermusuhan satu dengan yang lain).[2] Kebanyakan kaum Marxis modern memakai pendapat epistemologi realis kritis yang berbeda dari yang ditemukan dalam Marxisme klasik, dan jelas di pengaruhi oleh kritik kaum interpretis.

Menurut Marx masyarakat bukan terdiri atas individu-individu melainkan terdiri atas kelas-kelas. Yang dimaksud dengan kelas ialah kelompok orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi. Karena mereka memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi, mereka mengembangkan pandangan yang khas terhadap diri mereka dan dunia sekitar.[3] Secara sederhana, kelas sosial adalah golongan dalam masyarakat dengan kriteria tertentu bisa berdasarkan faktor ekonomi faktor pendidikan dan sebagainya. Menurut Marx sendiri kelas sosial merupakan gejala khas yang feodal dimana mereka menyadari diri sebagai kelas, suatu golongan khusus dalam kehidupan bermasyarakat dan memiliki kepentingan-kepentingan yang spesifik serta mau memperjuangkan kepentingannya sehingga dapat mencapai tujuan yang di inginkan. Marx membagi `kelas sosial menjadi dua bagian yaitu kelas ploletar dan kelas borjuis.

Menurut Marx semua sistem ekonomi dan politik telah dikuasai oleh kelas atas para penguasa negara. Marx menyimpulkan bahwa negara hanyalah kepanjangan tangan dari kelas atas untuk mengamankan status kekuasaan mereka. Prespektif ini dapat menjelaskan mengapa biasanya yang menjadi korban adalah rakyat kecil, pencuri kecil dihukum lebih berat dari koruptor dan terkesan kelas atas sangat kebal dengan hukum yang berlaku.

dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Marx dalam bukunya yang berjudul Proverty of Philosophy, menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur antagonisme kelas yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk bebas dari belenggu penindasan. Keinginan utama mereka ini menjadi penggerak untuk membentuk sistem sosial yang baru tanpa adanya eksploitasi kekuasaan dari kelas borjuis.[1][4]

Dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Marx dalam bukunya yang berjudul Proverty of Philosophy, menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur antagonisme kelas yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk bebas dari belenggu penindasan. Keinginan utama mereka ini menjadi penggerak untuk membentuk sistem sosial yang baru tanpa adanya eksploitasi kekuasaan dari kelas borjuis.[2][4]

4.2.3 Neostrukturalisme

Neostrukturalisme pada dasarnya bukan pemikiran atau kebijakan yang asing bagi negara-negara Amerika Selatan, sebelum terjadinya krisis pada tahun 1980an negara-negara Amerika Latin sesungguhnya menggunakan konsep strukturalisme yang berlandas pada pemikiran merkantilisme dimana negara memiliki peranan utama dalam mengatur prekonomian negara. Munculnya neostrukturalisme di Amerika Latin mendapat dorongan dari respon masyarakat dan munculnya fenomena pink tide. Pada dasarnya fenomena pink tide merupakan sebuah fenomena terpilihnya beberapa kepala negara dari partai beridiologi kiri atau kiri tengah. Sepertinya terpilihnya Hugo Chaves pada tahun 1998 sebagai Presiden Venezuela dan F.H. Cardoso (1995-2002) menjadi awal munculnya pemerintahan yang mengkritik kebijakan neoliberal.

Neostrukturalisme dianggap sebagai bentuk lain dari neoliberalisme oleh beberapa ahli yang dikenal dengan sebutan neoliberal populish. Lieva berpendapat bahwa neostrukturalisme merupakan pemikiran lanjutan dari neoliberal model. Namun pada dasarnya ada perbedaan mendasar antara kedua pemikiran ini. Neostrukturalisme mengakuai asimetri dalam sistem ekonomi dunia dan menjadi bagian dari sistem juga dibutuhkan, akan tetapi neostrukturalisme mengadopsi pemikiran utama strukturalisme khususnya pentingnya peran negara dalam mengatur ekonomi, sehingga dengan demikian dikatakan sebagai neostrukturalisme. Pemikiran neostrukturalisme menekankan pada peran dan kebijakan negara dalam pembangunan, belajar dari pembangunan di Asia Timur yang berhasil secara selectif berintegrasi dengan ekonomi dunia dengan berkompetisi sehingga mendatangkan keuntungan dengan perencanaan yang baik dan penerapan kebijakan industri yang fleksibel serta meningkatkan pengetahuan yang berbasis pada ekonomi.

Neostruktural memberikan perhatian lebih terhadap sektor swasta serta foreign direct investment dengan peran negara di dalamnya, kolaborasi negara dan sektor swasta dianggap mampu mendistribusikan kesejahteraan untuk menghindari ketimpangan ekonomi yang terlalu dalam. Dengan kata lain neostrutur alisme menitikberatkan pada penghapusan kemiskinan dan ketimpangan dengan menekankan peran dan kolaborasi negara dangan NGO. Neostrukturalisme muncul sebagai sebuah alternatif yang cukup mampu dijelaskan dengan adanya phenomena terpilihnya kepala negara yang beraliran kiri dan kiri tengah di beberapa negara Amerika Latin yang dikenal dengan penomena pink tide.

Pembentukan Alianza Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika – ALBA, 2004), Union de Naciones Suramericanas (Uni Bangsa-bangsa Amerika Selatan, UNASUR, 2008) dan Comunidad de Estados Latinoamericanos y Caribenos (Komunitas Negara-negara Amerika Latin dan Karibia, CELAC, 2011) didorong oleh bermunculannya kepala pemerintahan yang berhaluan sosialis/nasionalis yang ingin mewujudkan impian Simon Bolivar, yakni persatuan Amerika Latin secara politis, ekonomi dan ideologis. Terjadi pergeseran di Amerika Latin yang ditandai nasionalisme yang kuat dan dikecualikannya negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk kekecewaan sebagian negara di kawasan terhadap model Pan-America, khususnya model ekonomi neoliberal.[3][1]

Terpilihnya Evo Morales sebagai Presiden Bolivia pada tahun 2005 menjadi salah satu contoh adanya pergerakan beberapa negara Amerika Latin dalam menentang neoliberalisme. Pada hari buruh tahun 2006 Presiden Evo Morales mengumumkan akan melakukan nasionalisasi sumber daya energi Bolivia, terutama sektor pertambangan dan gas alam.[4][2] Namun konsep nasionalisasi yang dicanangkan tentunya mmenggunakan langkah-langkah yang diplomatis dengan meningkatkan pajak dan jenis pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Bolivia, ini sesuai dengan pemikiran-pemikiran neostructuralisme yang menekankan ekonomi dunia pada dasarnya bersifat hirarki dan menekankan perlunya kolaborasi antara swasta dan negara maju. Munculnya respon negatif beberapa negara Amerika Latin dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemikiran neoliberal dapat dikatakan sebagai muncul dan berkembangnya pemikiran-pemikiran neostructuralsime di beberapa negara Amerika Latin.

4.2.2 Marxisme Kontemporer dan Dunia Ketiga
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan Karl marx. Marxisme adalah buah karya intelektual, lantaran doktrinnya digunakan secara politik dan menghadirkan fenomena intelektual yang penting sampai saat ini. Nilai intelektual marxisme pada umumnya tidak hanya bersifat sejarah namun sampai saat ini masih memiliki relevansi intelektual. Karya Marx mengandung penyataan-pernyataan kaya makna tentang unsur dan struktur masyarakat yang perlu menjadi perhatian, terlepas dari masalah politik atau ideologi.[1] Konsep awal yang paling mendasar menurut karl marx adalah segala perubahan yang terjadi dalam sosial masyarakat disebabkan oleh struktur ekonomi pada sosial masyarakat tersebut. Sebuah ekonomi yang unggul dalam masyarakat akan membentuk dan mewarnai seluruh sosial masyarakat.

Marxisme adalah sebuah pandangan perjuangan bagi kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme. Di sini dijelaskan tentang perjuangan para buruh untuk bangkit dari keterpurukan yang selama ini mereka alami. Dengan adanya filsafat yang dikemukakan oleh karl marx tentang marxisme banyak membantu para buruh untuk bangkit dari penindasan. Pemikiran karl marx ini ditujukan kepada rakyat buruh (khususnya) dan juga kepada kaum intelektual (umumnya). Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya.

Selain dari pada membahas tentang keterpurukan para buruh, akan tetapi juga mengacu pada sistem sosial, politik, sosialisme demokrasi dan ekonomi. Selain itu Menurut David Marsh&Gery Stoker dalam karyanya Teori dan Metodologi Ilmu Politik. Mereka membagi marxisme menjadi dua periode yaitu periode marxisme klasik dan marxisme kontemporer. Ada empat “Isme” terkait yang biasanya di hubungkan dengan Marxisme klasik:ekonomisme, determinisme, materialisme, dan strukturalisme.

Bayangan Mark mengenai masa depan, dan nilai-nilai dasarnya sendiri, memasukkan unsur-unsur anarkisme dan komunisme. Akibat-akibat politik yang paling nampak dari Marxisme sangat tepat apabila dinamakan sosialisme otoriter, meskipun beberapa pihak akan mendesak bahwa otoriterisme adalah lebih fasis dari pada sosialis. Perhatian Marx itu sendiri di pusatkan pada ciri-ciri ekonomi dan akibat-akibat politik dari liberalisme klasik. Dan implikasi logis dalam determinisme faham Marx pada hakikatnya bisa di pandang sebagai konservatif. (kenyataannya, apakah sesuatu bisa dilakukan atau tidak untuk mempercepat kapitalis, dan sosialis, perkembangannya merupakan masalah utama yang membagi Marxis dalam kubu-kubu yang saling bermusuhan satu dengan yang lain).[2] Kebanyakan kaum Marxis modern memakai pendapat epistemologi realis kritis yang berbeda dari yang ditemukan dalam Marxisme klasik, dan jelas di pengaruhi oleh kritik kaum interpretis.

Menurut Marx masyarakat bukan terdiri atas individu-individu melainkan terdiri atas kelas-kelas. Yang dimaksud dengan kelas ialah kelompok orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi. Karena mereka memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi, mereka mengembangkan pandangan yang khas terhadap diri mereka dan dunia sekitar.[3] Secara sederhana, kelas sosial adalah golongan dalam masyarakat dengan kriteria tertentu bisa berdasarkan faktor ekonomi faktor pendidikan dan sebagainya. Menurut Marx sendiri kelas sosial merupakan gejala khas yang feodal dimana mereka menyadari diri sebagai kelas, suatu golongan khusus dalam kehidupan bermasyarakat dan memiliki kepentingan-kepentingan yang spesifik serta mau memperjuangkan kepentingannya sehingga dapat mencapai tujuan yang di inginkan. Marx membagi `kelas sosial menjadi dua bagian yaitu kelas ploletar dan kelas borjuis.

Menurut Marx semua sistem ekonomi dan politik telah dikuasai oleh kelas atas para penguasa negara. Marx menyimpulkan bahwa negara hanyalah kepanjangan tangan dari kelas atas untuk mengamankan status kekuasaan mereka. Prespektif ini dapat menjelaskan mengapa biasanya yang menjadi korban adalah rakyat kecil, pencuri kecil dihukum lebih berat dari koruptor dan terkesan kelas atas sangat kebal dengan hukum yang berlaku.

Dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Marx dalam bukunya yang berjudul Proverty of Philosophy, menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur antagonisme kelas yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk bebas dari belenggu penindasan. Keinginan utama mereka ini menjadi penggerak untuk membentuk sistem sosial yang baru tanpa adanya eksploitasi kekuasaan dari kelas borjuis.[5][4]

Dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Marx dalam bukunya yang berjudul Proverty of Philosophy, menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur antagonisme kelas yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk bebas dari belenggu penindasan. Keinginan utama mereka ini menjadi penggerak untuk membentuk sistem sosial yang baru tanpa adanya eksploitasi kekuasaan dari kelas borjuis.[6][4]

4.2.3 Neostrukturalisme
Neostrukturalisme pada dasarnya bukan pemikiran atau kebijakan yang asing bagi negara-negara Amerika Selatan, sebelum terjadinya krisis pada tahun 1980an negara-negara Amerika Latin sesungguhnya menggunakan konsep strukturalisme yang berlandas pada pemikiran merkantilisme dimana negara memiliki peranan utama dalam mengatur prekonomian negara. Munculnya neostrukturalisme di Amerika Latin mendapat dorongan dari respon masyarakat dan munculnya fenomena pink tide. Pada dasarnya fenomena pink tide merupakan sebuah fenomena terpilihnya beberapa kepala negara dari partai beridiologi kiri atau kiri tengah. Sepertinya terpilihnya Hugo Chaves pada tahun 1998 sebagai Presiden Venezuela dan F.H. Cardoso (1995-2002) menjadi awal munculnya pemerintahan yang mengkritik kebijakan neoliberal.

Neostrukturalisme dianggap sebagai bentuk lain dari neoliberalisme oleh beberapa ahli yang dikenal dengan sebutan neoliberal populish. Lieva berpendapat bahwa neostrukturalisme merupakan pemikiran lanjutan dari neoliberal model. Namun pada dasarnya ada perbedaan mendasar antara kedua pemikiran ini. Neostrukturalisme mengakuai asimetri dalam sistem ekonomi dunia dan menjadi bagian dari sistem juga dibutuhkan, akan tetapi neostrukturalisme mengadopsi pemikiran utama strukturalisme khususnya pentingnya peran negara dalam mengatur ekonomi, sehingga dengan demikian dikatakan sebagai neostrukturalisme. Pemikiran neostrukturalisme menekankan pada peran dan kebijakan negara dalam pembangunan, belajar dari pembangunan di Asia Timur yang berhasil secara selectif berintegrasi dengan ekonomi dunia dengan berkompetisi sehingga mendatangkan keuntungan dengan perencanaan yang baik dan penerapan kebijakan industri yang fleksibel serta meningkatkan pengetahuan yang berbasis pada ekonomi.

Neostruktural memberikan perhatian lebih terhadap sektor swasta serta foreign direct investment dengan peran negara di dalamnya, kolaborasi negara dan sektor swasta dianggap mampu mendistribusikan kesejahteraan untuk menghindari ketimpangan ekonomi yang terlalu dalam. Dengan kata lain neostrutur alisme menitikberatkan pada penghapusan kemiskinan dan ketimpangan dengan menekankan peran dan kolaborasi negara dangan NGO. Neostrukturalisme muncul sebagai sebuah alternatif yang cukup mampu dijelaskan dengan adanya phenomena terpilihnya kepala negara yang beraliran kiri dan kiri tengah di beberapa negara Amerika Latin yang dikenal dengan penomena pink tide.

Pembentukan Alianza Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika – ALBA, 2004), Union de Naciones Suramericanas (Uni Bangsa-bangsa Amerika Selatan, UNASUR, 2008) dan Comunidad de Estados Latinoamericanos y Caribenos (Komunitas Negara-negara Amerika Latin dan Karibia, CELAC, 2011) didorong oleh bermunculannya kepala pemerintahan yang berhaluan sosialis/nasionalis yang ingin mewujudkan impian Simon Bolivar, yakni persatuan Amerika Latin secara politis, ekonomi dan ideologis. Terjadi pergeseran di Amerika Latin yang ditandai nasionalisme yang kuat dan dikecualikannya negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk kekecewaan sebagian negara di kawasan terhadap model Pan-America, khususnya model ekonomi neoliberal.[7][1]

Terpilihnya Evo Morales sebagai Presiden Bolivia pada tahun 2005 menjadi salah satu contoh adanya pergerakan beberapa negara Amerika Latin dalam menentang neoliberalisme. Pada hari buruh tahun 2006 Presiden Evo Morales mengumumkan akan melakukan nasionalisasi sumber daya energi Bolivia, terutama sektor pertambangan dan gas alam.[8][2] Namun konsep nasionalisasi yang dicanangkan tentunya mmenggunakan langkah-langkah yang diplomatis dengan meningkatkan pajak dan jenis pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Bolivia, ini sesuai dengan pemikiran-pemikiran neostructuralisme yang menekankan ekonomi dunia pada dasarnya bersifat hirarki dan menekankan perlunya kolaborasi antara swasta dan negara maju. Munculnya respon negatif beberapa negara Amerika Latin dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemikiran neoliberal dapat dikatakan sebagai muncul dan berkembangnya pemikiran-pemikiran neostructuralsime di beberapa negara Amerika Latin.

4.3 Strategi Pembangunan dan Sistem Dunia
Teori sistem dunia lahir atas kritikan terhadap teori modernisasi dan teori dependensi, di mana Immanuel Wallerstein mengatakan bahwa dunia adalah sebuah sistem kapitalis yang sangat kuat pengaruhnya terhadap sejumlah negara yang ada di dunia, sehingga dalam kaitan integrasi yang terjadi juga hanya berdasarkan kepentingan ekonomi dari pada relasi politik. Dapat dikatakan bahwa hubungan yang terjadi hanyalah bersifat profit dan defisit. Teori ini berkeyakinan bahwa tak ada satupun negara yang mampu melepaskan diri dari sistem kapitalis.
Beberapa hal yang melatar belakangi munculnya teori sistem dunia:
a. Negara-negara di Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, dan singapura) terus mencapi pertumbuhan ekonomi tinggi. Sulit untuk mengaitkan bahwa ini sebagai hasil kerja para imperialis, pembangunan yang bergantung, atau ketergantungan yang dinamis, karena industri di kawasan ini secara nyata menjadi sebuah tantangan bagi Amerika serikat. Analisisnya adalah terjadi usaha mandiri atau memanfaatkan kesempatan yang datang dari negara-negara yang awalnya adalah negara semi pinggiran menjadi negara sentral.
b. Krisis di berbagai negara sosialis, yakni perpecahan Republik Rakyat China dan Uni soviet. Kegagalan Revolusi Kebudayaan, stagnasi ekonomi di negara-negara sosialis, perkembangan yang evolutif dan mulainya negara sosialis menerima investasi modal asing yang kavitalistik. Fenomena tersebut menandai kegagalan Marxisme revolusioner dan revolusi Marxisme. Analisisnya adalah terjadinya krisis di negara sosialis, membuat negaranya terpakasa meminjam modal kepada negara dengan sistem kapitalis. Artinya bahwa sosialis tidak lepas dari pengaruh dari kapitalis.
c. Munculnya krisis di Amerika Serikat, Perang Vietnam, Krisis Watergate, embargo minyak tahun 1975, inflasi ekonomi Amerika pada akhir 1070-an, kebijaksanaan perdagangan dan investasi produktif, defisit anggaran belanja pemerintah, defisit neraca pembayaran yang makin meluas pada tahun 1980-an menandai hancurnya hegemony politik ekonomi Amerika. Terjadinya krisis di negara sentral membuat negara-negara semi pinggiran memanfaatkan kesempatan untuk memandirikan negaranya atau pun membuat suatu kebijakan baru yang membuat negaranya semakin pesat berkembang.

Menurut Wallertstein jika dunia hanya dibagi dalam dua bentuk negara, masih banyak negara yang belum masuk kedalam 2 kategori tersebut. Maka menurut Wallerstein sistem dunia yang kapitalis dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu, negara sentral, negara semi-preferi, dan negara negara preferi (pinggiran). Munculnya negara semi pinggiran oleh Wallerstein dikarenakan pemikiran jika hanya terdapat 2 kutub di dunia yaitu negara sentral dan pinggiran saja, maka disintegrasi akan muncul dengan mudah dalam sistem dunia itu. Sehingga, negara semi pinggiran dinilai akan menghindari disintegrasi tersebut. Kemudian, negara semi pinggiran juga dinilai bisa menjadi iklim ekonomi baru. Para pemilik modal bisa memindahkan modalnya dari tempat yang sudah tidak lagi efisien ke tempat baru yang sedang tumbuh. Hal ini terjadi karena di negara sentral yang sebelumnya merupakan ekonomi unggul mengalami penurunan atau kehilangan keuntungan biaya komparatif sebagai akibat meningkatnya upah yang terus menerus karena eksploitasi buruh di negara-negara pinggiran.

Penekanan pada teori ini adalah peralihan kekuatan negara sangat dinamis. Negara sentral bisa menjadi negara semi pinggiran, negara semi pinggiran bisa menjadi negara sentral dan negara pinggiran, sedangkan negara pinggiran bisa menjadi negara semi pinggiran. Jadi sistem kapitalis membentuk dunia yang sangat dinamis. Contohnya Amerika yang bisa menggulingkan Inggris dan Belanda sebagai negara sentral setelah Perang Dunia II pasca kehancuran dahsyat di Eropa sebagai. Maka ketika itu Amerika berada pada posisi negara semi pinggiran dan beralih menjadi negara sentral.
Wallstrein merumuskan tiga strategi terjadinya proses kenaikan kelas:
1. Kenaikan kelas terjadi karena menjemput dan merebut kesempatan yang datang. Sebagai misal negara pinggiran tidak lagi dapat mengimpor barang-barang industri oleh karena mahal sedangkan komiditi primer mereka murah sekali, maka negara pinggiran mengambil tindakan yang berani untuk melakukan industrialisasi substitusi impor. Dengan ini ada kemungkinan negara dapat naik kelas dari negara pinggiran menjadi negara semi pinggiran.
2. Kenaikan kelas terjadi karena adanya undangan. Sebagai contoh perusahaan-perusahaan industri raksasa di negara-negara pusat perlu melakukan ekspansi ke luar dan kemudian lahir apa yang disebut dengan MNC. Akibat dari perkembangan ini, maka muncullah industri-industri di negara-negara pinggiran yang diundang oleh oleh perusahaan-perusahaan MNC untuk bekerjasama. Melalui proses ini maka posisi negara pinggiran dapat meningkat menjadi setengah pinggiran.
3. Kenaikan kelas terjadi karena usaha yang dilakukan negara dalam memandirikan negaranya. Sebagai misal saat ini dilakukan oleh Peru dan Chile yang dengan berani melepaskan dirinya dari eksploitasi negara-negara yang lebih maju dengan cara menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Namun demikian, semuanya ini tergantung pada kondisi sistem dunia yang ada, apakah pada saat negara tersebut mencoba memandirikan dirinya, peluang dari sistem dunia memang ada. Jika tidak, mungkin dapat saja gagal.
Artinya dari strategi yang dipaparkan oleh Wallstrein, setiap negara mampu untuk melepaskan diri dari statusnya sebelumnya, tetapi barangkali negara tersebut tidak bisa melepaskan diri dari kekuatan kapitalis yang mengikat. Hal ini terjadi karena setelah beberapa lama masuk dalam sistem kapitalis, maka menurut penulis mereka telah memiliki pengalaman yang telah di selektif terhadap apa yang mereka lihat, rasakan, dan mereka dapatkan, maka mereka mampu mempelajari semua sistem kapitalis dan secara tidak sadar mereka akan tetap menggunakan sistem kapitalis sebagai sistem ekonominya, karena keterikatan dan pengalaman yang telah didapatkan.

Wallerstein mengajukan tesis tentang perlunya gerakan populis berskala nasional digantikan oleh perjuangan kelas berskala dunia. Lebih jauh Wallerstein menyatakan bahwa pembangunan nasional merupakan kebijakan yang merusak tata sistem ekonomi dunia. Alasan yang disampaikan olehnya, antara lain :
1. Impian tentang keadilan ekonomi dan politik merupakan suatu keniscayaan bagi banyak negara.
2. Keberhasilan pembangunan pada beberapa negara menyebabkan perubahan radikal dan global terhadap sistem ekonomi dunia.
3. Strategi pertahanan surplus ekonomi yang dilakukan oleh produsen berbeda dengan perjuangan kelas yang berskala nasional. Karakteristik teori sistem dunia adalah sebagai berikut:

1. Teori sistem dunia berasumsi bahwa kesenjangan antara negara maju dan negara terbelakang tidak berkurang. Kesenjangan telah meluas sejak awal kapitalisme dan akan meluas dimasa mendatang.

2. Wallerstein tokoh utama teori sistem dunia mengajukan pendapat yang dikenal dengan tesis immiserasi mutlak, yaitu bahwa kesenjangan yang meluas ini bersifat mutlak dari pada reatif. dengan kata lain negara-negara terbelakang mengalami kemandekan atau hanya maju sedikit saja dan akan cenderung akan merosot.

3. Teori sistem dunia lebih condong ke teori ketergantugan, negara-negara terbelakang sekarang adalah akibat dari dominasi kelompok kapitalis pusat yang berabad-abad. Hampir semua negara ini selalu kalah jauh dari pusat, tidak hanya relatif tetapi mutlak. Namun demikian ada sedikit negara yang bisa memperbaiki posisi mereka dalam ekonomi dunia dengan memanfaatkan kesempatan yang tepat pada saat terjadi perluasan perkembangan kapitalis.

4. Perspektif sistem dunia memandang dalam dunia terdapat suatu sistem antae negara dari negara-negara dan bangsa yang bersaing dan bertentangan yang terjalin dengan sangat dalam dengan ekonomi dunia kapitalis.

Ada dua tipe sistem dunia yang kami kutip dari "sosiologi; the key concepts " yakni: otoritas dunia (World Empiris) dan ekonomi dunia (World Economic) yang akan kami uraikan sebagaimana berikut:
1. Otoritas Dunia (World Empiris)
peradaban cina, mesir, dan romawi kuno, merupakan otoritas dunia. Jenis sistem dunia ini diselenggarakan bersamaan dengan satu pusat kekuasaan yang mengontrol distribusi sumber-sumber dunia. Jenis sistem dunia ini diselenggarakan bersamaan dengan satu pusat kekuasaan yang mengontrol distribusi sumber-sumber dunia.

2. Ekonomi Dunia (World Economic)
ekonomi dunia, sebaliknya, memiliki pusat kekuasaan yang beragam dan terintegrasi secara ekonomis oleh hubungan pasar. Ekonomi dunia muncul bersamaan dengan berkembangnya kapitalisme di eropa abad ke-16. Semenjak kemunduran romawi, tidak ada lagi otoritas dunia yang muncul di eropa, yang kala itu telah terpisah-pisah oleh negara-negara bangsa yang saling berkompetisi.Memasuki abad ke-16. Semenjak kemunduran romawi, tidak ada lagi otoritas dunia yang muncul di eropa, yang kala itu telah terpisah-pisah oleh negara-negara bangsa yang saling berkompetisi. Memasuki abad ke-16, para pedagang kapitalis dari barat laut eropa menciptakan jaringan hubungan yang menyebar antar negara-negara tersebut dan kemudian menyebar hampir keseluruh dunia. Tepat pada saat itulah untuk pertama kalinya otoritas antar benua dari eropa ini berkembang. Namun menurut terminologi wallerstein, itu bukanlah otoritas dunia karena bukan unit yang mampu mencukupi diri sendiri.

4.3.1 Dilema Reformasi Global
Penafsiran strukturalis radikal mengenai “ketergantungan satu sama lain” mengarah padakesimpulan yang sangat berbeda berkenaan dengan strategi pembagunan, yang dapat digambarkan dengan pendekatan sistem dunia.
Pemutusan hubungan dengan kapitalisme globalndan sistem sosialis nasional dinyatakan dalam banyak teori mengenai ketergantungan (kendati pilihan ini tidak pernah benar-benar diuraikan sebagai strategi pembangunan), jalan pembangunan ini terang-terangan dikesampingkan dalam perspektif sistem dunia. Menurut Wallerstein, kita sekarang hidup dalam transisi dari kapitalisme ke sosialisme, namun “masih dibutuhkan sekitar 100-150 tahun lagi untuk menyelesaikannya.

Dalam kerangka perekonomian dunia, muncul gerakan sosialis yang mengendalikan alat-alat negara tertentu, namun tidak muncul perekonomian nasional sosialis. Tidak ada reformasi, bagaimanapun radikalnya, yang dapat memapankan “sosialisme dalam satu negara” karena “bebas” tidak siap membiarkan itu terjadi. Dapat disimpulkan baahwa globalisasi pembangunan menciptakan keraguan mengenai kelangsungan strategi yang menitik-beratkan perhatian pada pembangunan nasional.

4.3.2 Eksperimen dengan Pemutusan Hubungan (Delinking)
Salah satu alasan perubahan penekanan dari proses nasional ke proses global adalah catatan buruk mengenai strategi pembangunan disosiatif pada 1970-an.

salah satu kasus nyata di mana suatu negara menemui kesulitan dalam memecahkan dilema antara mobilisasi dari bawah versus mobilisasi dari atas adalah Tanzania. Persoalan khusus di Tanzania, adalah bahwa bagian “ujamaa” dari strategi kemandirian tidak ditekankan lagi sejak 1973, dan malahan dimulailah kampanye pengampungan besar-besaran, yang sebagian besar dipaksakan.

Dalam kasus Tanzania, persoalan umum keterbatasan valuta asing Afrika, yang disebabkan oleh impor yang mahal dan lambannya perkembangan ekspor pertanian, bertepatan dengan strategi kemandirian yang semakin ambisius, yang juga mencakup industri dasar (Strategi Industri Dasar). Strategi ini ternyata tidak realistis, tanpa bantuan luar negeri, strategi baru itu jauh-jauh hari telah runtuh. Strategi kemandirian telah dicoba oleh Ghana.

Berkaitan dengan soal prestasi, penting diingat perspektif waktu, dan juga hubungan antara ambisi dan hasilnya. Ketika menilai pelaksanaan pembangunan oleh berbagai rezim, orang harus mempertimbangkan kondisi objektif pembangunan dalam setiap kasusnya.

Dalam krisis ekonomi yang akut yang telah terjadi beberapa kali di Ghana dalam waktu singkat rakyat mengalami penderitaan, apa pun kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Jika kemandirian berarti transformasi struktural sistem ekonomi dan hubungan sosial dalam suatu negara yang sedang mengikuti strategi tersebut dalam versi yang cukup ambisius, hal ini jelas terjadi juga pada tingkat hubungan eksternal. Perubahan dalam pola hubungan internasional, pada sebagian besar kasus, berdampak terhadap kebijakan keamanan di setiap kawasan. Semakin sensitif kawasan tersebut, semakin seriuslah dampak yang akan tejadi. Karena kemandirian berarti meningkatnya otonomi dalam hubungan dengan kekuatan pasar internasional dan kepentingan modal, maka kemandirian, dengan pembenaran tertentu, dapat ditafsirkan sebagai permusuhan terhadap “dunia bebas”.

PNP di bawah kepemimpinan Michael Manley, programnya menjadi radikal. Jamaika mengikuti jalan Puerto Rrico, yang menerapkan perekonomian terbuka dan berorientasi ekspor, mendorong investasi asing, dengan orientasi kebijakan luar negeri yang mengarah ke AS. Akibatnya Jamaika perlahan-perlahan terpuruk ke dalam krisis ekonomi, sosial, dan politik yang parah.

Contoh Jamaika dan Nikaragua tampaknya menunjukkan bahwa strategi kemandirian tidak selalu gagal hanya karena tidak adanya realisme ekonomi. Kasus Nikaragua dan Jamaika berbeda. Kedua kasus itu menjelaskan persoalan yang terkait dengan pemilihan strategi pembangunan yang melawan kepentingan kekuatan politik eksternal maupun internal. Mencakup mulai dari arena kebudayaan hingga arena militer. Alasannya adalah tingkat mobilisasi polkitik dan kesadaran ideologis.

Sebagai kesimpulan: Minat baru dalam teori global dapat dianggap sebagai usaha melampaui teori ketergantungan, dan untuk menciptakan sebuah kerangka dimana pusat maupun pinggiran, serta hubungan keduanya, diperhitungkan. Perubahan dalam debat teoretis mengenai pembangunan ini, seperti halnya Perang Dingin baru, harus dihubungkan dengan perubahan dalam perekonomian dunia selama 1970-an. Kemunduran AS dan dimana Jepang khususnya berhasil menciptakan kemungkinan yang unik bagi negara tertentu dengan basis industri yang cukup maju, tenaga kerja murah dan rezim yang stabil (responsif). Kesempatan bagi strategi kemandirian dan strategi lain yang kurang atau lebih radikal diperkecil karena alasan ekonomi dan politik. Alasan ekonominya adalah: kenaikan harga impor untuk energi; jatuhnya harga bahan-bahan mentah yang masih mendominasi perekonomian banyak negara terbelakang. Yang terpenting adalah kebutuhan yang dirasakan untuk merampingkan persekutuan dan memperkuat kontrol atas wilayah kepentingan dua adidaya.

Kesimpulannya, kita akan menekankan bahwa “kegagalan” kemandirian haruslah dipahami dalam hubungannya dengan perubahan struktural dan perubahan politik di dunia dan hendaknya jangan hanya dijelaskan sebagai akibat kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan nasional. Perubahan global ini, seperti yang dicerminkan dalam Perang Dingin “baru”, semakin menyulitkan penerapan strategi kemandirian. Jadi, relevansi kemandirian (lebih sebagai strategi daripada ideologi nasionalis), yang terkandung dalam pendekatan ketergantungan, hendaknya jangan dinilan hanya dengan kemunduran strategi baru ini pada 1970-an.

4.3.3 Antara Scylla Autarki dan Charybdis Integrasi
Pemutusan hubungan yang radikal sekarang ini dikesampingkan oleh semua kelompok karena kurang lebih tidak mungkin diterapkan.

Bagaimanakah prospek pembangunan dalam perekonomian yang kurang berkembang sekarang ini dan sampai sejauh mana prospek ini tergantung pada implementasi efektif dari strategi pembangunan nasional yang meemperhatikan kecenderungan dominan dalam ekonomi internasional?

Perekonomian yang terbelakang merupakan kategori yang sangat heterogen. Karena itu, tidak ada rumusan teoretis umum mengenai persoaloan mereka, dan tidak ada penanganan universal yang berlaku untuk semua. Apa yang seharusnya dipikirkan oleh teori pembangunan dari sudut pandang pendekatan ketergantungan yang dimodifikasi adalah mendefinisikan dengan tepat hubungan aktual antara situasi nasional yang berbeda dan konteks internasional yang senatiasa berubah, dan ruang gerak seperti apa yang ada bagi strategi pembangunan nasional, bila tekanan eksternal maupun internal turut dipertimbangkan. Kesadaran ini pada dasarnya merupakan apa yang hilang dari yang sekarang kita sebut sebagai pendekatan dependencia klasik atau “vulgar”.

Jika kita telah belajar sesuatu dari perdebatan ketergantungannya, hal itu adalah bahwa strategi pembangunan harus didasarkan pada penilaian yang akurat atas konteks politik dan ekonomi yang lebih luas. Cara suatu negara berhubungan dengan konteks yang lebih besar ini tergantung pada hubungan kekuasaan yang membentuk rezim tertentu dan tahap konjungtural (conjunctural stage) sistem yang lebih besar, yang tentunya juga berada dalam proses transformasi yang terus-menerus.

Apakah ada kontradiksi antara pembangunan nasional dan pembangunan internasional – sebagaimana kita ingat, ada dibalik kebangkitan ekonomi pembangunan. “Ekonomi politik nasional” dikembangkan lebih jauh lagi oleh dependentista yang mendukung pemisahan radikal dari pasar dunia.

Oleh karena itu, salah satu jalan keluar dari kebutuhan teori pembangunan, dan alat untuk melakukan revitalisasi bidang studi pembangunan yang sekarang terbengkalai, adalah menitikberatkan perhatian pada studi komparatif strategi pembangunan, berikut hambatan internal dan eksternal pada implementasinya. Untuk itu, sangat diperlukan tipologi strategi pembangunan yang baik. Mengidentifikasi enam strategi pembangunan (Griffin 1988):
Griffin (1988) menggolongkan strategi pembangunan menjadi enam, yaitu:
· Strategi Pembangunan Monetaris
Strategi ini mengasumsikan bahwa efisiensi dalam alokasi sumberdaya akan tercapai dalam jangka panjang. Meskipun untuk mencapai stabilitas ekonomi, dalam jangka pendek akan terjadi krisis. Dalam strategi ini peran Negara dibatasi.
· Strategi Pembangunan Ekonomi Terbuka
Strategi ini menitikberatkan pada perdagangan luar negeri dan keterkaitan dengan Negara luar sebagai mesin pembangunan. Kebijakan sangat tepat diterapkan pada Negara-negara yang berorientasi pada pembuatan produk yang ditujukan untuk pasar. Strategi ini identik dengan apa yang disebut supply-side oriented state karena menghendaki peran akktif Negara di sisi penawaran.
· Strategi Pembangunan Industrialisasi
Titi berat strategi ini terletak pada sektor manufaktur yang berorientasi pasar, baik pasar domestic maupun luar negeri, namun peran pemerintah masih dibutuhkan.
· Strategi Pembangunan Revolusi Hijau
Strategi ini menitikberatkan pada kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan teknologi bidang pertanian sebagai alat untuk memacu pertumbuhan bidang lainnya.
· Strategi Pembangunan Redistribusi
Strategi ini dimulai dari redistribusi pendapatan dan kesejahteraan serta tingkat partisipasi masyarakat sebagai alat untuk memobilisasi peran serta penduduk dalam pembangunan
· Strategi Pembangunan Sosialis
Strategi ini lebih menekankan pada peran pemerintah dalam pembangunan: mulai dari perencanaan, perusahaan milik Negara hingga pelayanan masyarakat. Meskipun dalam sistem sosialis peran pemerintah bias bersifat ekstrim atau moderat.

Menurut Griffin sebagian besar negara tidak mengikuti strategi apapun yang dapat dikenali dan pasti tidak lama. Kasus semacam ini semakin banyak akibat melemahnya negara Dunia ketiga, dan akibat krisis perekonomian dunia. Karena itu, peran strategi pembangunan bagi banyak negara sekarang ini cenderung mengarah pada manajemen krisis daripada transformasi sosioekonomi.

Pada prinsipnya, menurut teori sistem dunia hanya ada tiga strategi: strategi memandaatkan kesempatan, strategi promosi dengan mengundang dan strategi kemandirian (Wallerstein 1979: 76). Yang pertama merupakan strategi klasik, strategi ini identic dengan apa yang dibahas sebagai kapitalisme negara. Pada dasarnya strategi ini melibatkan tindakan agresif negara untuk mentransformasikan struktur keunggulan komparatid dengan tujuan mendapatkan pasar eksternal. Kedua, pembangunan dengan cara mengundang, didasarkan pada keunggulan komparatif yang ada seperti tingkat upah yang rendah dan keterbukaan umum. Yang ketiga, kemandirian, dalam konteks sistem dunia sekarang ini, strategi ini paling mustahil mencapai keberhasilan menurut pemikiran pembangunan sistem dunia.

Sistem dunia sekarang, seperti yang kita ketahui, dianggap sedang berada dalam kirisis, dan, sebagaimana kita ingat krisis tersebut mengandung risiko dan kesempatan.

Menurut Dieter Seghass klasifikasi pembangunan Eropa berangkat dari pertanyaan sejauh mana negara yang kurang lebih berhasil dalam menangani isu otonom versus integrase dalam konteks dunia kontemporer, pada waktu ekonomi inggris sangat dominan.
· Pembangunan dissosiatif yang ditawarkan pada dinamika pasar domestic (Jerman)
· Pembangunan asosiatif yang diarahakan untuk eksplor (Swiss)
· Pembangunan yang bersifat asosiatif-dissosiatif (Model Skandinavia)
· Pembangunan kapitalis negara yang bersifat dissosiatif (Rusia)
· Pmbangunan sosialis negara yang bersifat dissosiatif (Uni Soviet)

Diatas kurang kronologis pembangunan di Eropa.Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pembangunan yang tertunda semakin sulit berhasil dan akan sangat bergantung pada intervensi negara. Kesimpulan ini juga diambil oleh para teoritikus ketergantungan. Salah satu yang paling mencolok pada pembangunan di Eropa ini adalah bahwa hanya sedikit sekali negara yang melaksanakan pembangunan sesuai dengan apa yang direkomendasikan Bank Dunia dan IMF pada negara terbelakang untuk membangun.

Menurut Seers (1983) berhasil dalam pembangunan berani memanfaatkan ruang maneuver untuk mengakumulasikan merasionalisasi sistem produksi nasional, dan mengarahkan negara ke tempat yang semestinya dalam pembagian kerja dunia. Inilah yang sebenernya sedang dilakukan NIB. Kita telah membahas kemungkinan terbatas penerapan model NIB bagi sebagian besar negara Dunia Ketiga yang masih terbelakang. Pesan yang paling penting bukanlah meliberalisasikan perekonomian nasional, namun justru mengeksploitasi liberalisasi dunia eksternal melalui kebijakan ekonomi merkantilistik yang konsisten dan kuat. Rahasia dibalik kesuksesannya adalah pemerintahan yang kuat, berkomitmen pada pembangunan, berkuasa atas rakyat yang patuh dan kelompok social yang relative otonom serta berpengaruh.

Negara Industri Baru (NIB) tidak memilih antara industrialisasi subtitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi ekspor. Mereka melaksanakan keduanya dna mengubah penekanan pada saat yang tepat. Persoalannya bukanlah memilih strategi melainkan melaksanakannya secara konsisten dan mengubahnya bila situasi menuntut demikian. Teori pembangunan yang digunakan juga harus fleksibel dan tanggap terhadap strategi pembangunan yang konkret, yang diterapkan pada situasi yang senantiasa berubah.

Komentar