Langsung ke konten utama

Etika Administrasi Publik Jepang yang Dapat Dicontoh Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Etika Administrasi Publik
Dalam  Ensiklopedi  Indonesia,  etika  disebut  sebagai  “Ilmu  tentang  kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam  masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk”. Sedangkan secara  etimologis,  Etika  berasal  dari  kata ethos (bahasa  Yunani)  yang  berarti  kebiasaan atau watak. Etika menurut bahasa Sansekerta lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Etika menurut Bertens dalam (Pasolong, 2007:190) adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Dari  definisi  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  masalah  etika  selalu  berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau  dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang baik maupun  kebiasaan atau watak buruk. Watak baik yang termanifestasikan dalam  kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya.  Sedangkan  watak  buruk  yang  termanifestasikan  dalam  kelakuan  buruk,  sering  dikatakan  sebagai  sesuatu  yang  tidak  patut  patut  atau  tidak  sepatutnya.


Dalam lingkup pelayanan publik, etika administrasi publik (Pasolong, 2007 :193) diartikan sebagai filsafat dan professional  standar (kode etik) atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang sehatursnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrasi publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika administrasi publik adalah aturan atau standar pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau pekerjaan manajemen ; aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator publik dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat. Aturan atau standar dalam etika administrasi negara tersebut terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan, ketatausahaan, dan hubungan masyarakat.

2.2 Urgensi Etika Administrasi Publik
Pentingnya etika administrasi publik tersebut adalah sebagai berikut (Henry, 1995: 400). Alasan pertama adalah adanya  public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, kapan, dan sebagainya. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan  atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat  pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.
Alasan kedua lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Alasan  ketiga  berkenaan  dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian  antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, di mana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.
Alasan keempat adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketiakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan  pemberi  pelayanan  publik  atau  aparat  pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.

2.3 Penerapan Etika Administrasi Publik
Etika administrasi publik dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya yaitu American Society for Administration (ASPA).
1.      Pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas pelayanan kepada diri sendiri;
2.    Rakyat yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah dan pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat
3.      Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah
4.     Manajemen yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi birokrasi
5.   Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas iktikad baik akan didukung, dijalankan dan dikembangkan
6.  Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat sangat penting, konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau faviritisme yang merendahkan jabatan publik untuk kepentingan pribadi tidak diterima
7.      Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi dan kasih sayang
8.      Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan
9.      Para administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang tidak etis, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang etis melalui pelaksanaan tanggung jawab dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya.
Etika administrasi tersebut di atas belum cukup untuk menjamin untuk menghapus perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme pada birokrasi publik.
2.4 Etika Administrasi di Jepang Menerapkan 8 Etos Kerja
1.      Kerja adalah Rahmat : Bekerja Tulus Penuh Syukur
Bekerja adalah rahmat yang turun dari Tuhan oleh karena itu harus kita syukuri. Bekerja dengan tulus akan membuat kita merasakan rahmat lainnya sebagai berikut:
a.       Kita bisa memaksimalkan talenta kita saat bekerja
b.      Kita bisa mendapatkan pengakuan dan identitas diri dari masyarakat dan komunitas
2.      Kerja adalah Amanah : Bekerja Benar Penuh Tanggung Jawab
Amanah melahirkan sebuah sikap tanggung jawab, dengan demikian maka tanggung jawab harus ditunaikan dengan baik dan benar bukan hanya sekedar formalitas. Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan yang didelegasikan kepada kita akan membubuhkan kehendak kuat untuk melasanakan tugas dengan benar sesuai job description untuk mencapai target yang ditetapkan.
3.      Kerja adalah Panggilan : Bekerja Tuntas Penuh Integritas
Dalam konteks pekerjaan, panggilan umum ini memiliki arti bahwa apa saja yang kita kerjakan hendaknya memenuhi tuntutan profesi. Profesi yang kita jalani untuk menjawab panggilan kita sebagai birokrat, akuntan, hakim, dokter, dsb. Agar panggilan dapat diselesaikan hingga tuntas maka diperlukan integritas yang kuat karena dengan memegang teguh integritas maka kita dapat bekerja dengan sepenuh hati, segenap pikiran, segenap tenaga kita secara total, utuh dan menyeluruh.
4.      Kerja adalah Aktualisasi : Bekerja Keras Penuh Semangat
Aktualisasi adalah kekuatan yang kita pakai untuk mengubah potensi menjadi realisasi. Tujuan dari sikap yang kita pakai untuk mengubah potensi menjadi realisasi. Tujuan dari sikap aktual ini adalah agar kita terbiasa bekerja keras dan selalu tuntas untuk mencapai mimpi dan keinginan kita tanpa merubah diri kita menjadi pecandu kerja. Ada tiga cara mudah untuk meningkatkan etos kerja keras, yaitu:
a.       Kembangkanlah visi sebagai ilham untuk bekerja keras
b.      Kerja keras merupakan ongkos untuk mengembangkan diri kita
c.       Kerja keras itu baik, menyehatkan dan menguatkan diri kita

5.      Kerja adalah ibadah : Bekerja Serius Penuh Kecintaan
Segala pekerjaan yang diberikan Tuhan kepada kita harus kita syukuri dan lakukan dengan sepenuh hati. Tidak ada tipe atau jenis pekerjaan yang lebih baik dan lebih rendah dari yang lain karena semua pekerjaan adalah sama di mata Tuhan jika kita mengerjakannya dengan serius dan penuh kecintaan. Berbekal keseriusan itu maka hasil yang akan kita peroleh juga akan lebih dari yang kita bayangkan, begitu pula jika pekerjaan yang kita lakukan didasarkan oleh rasa cinta. Seberat apapun beban pekerjaan kita, berapapun gaji yang kita dapatkan dan apapun posisi yang kita pegang akan memberikan nilai moril dan spirituil yang berbeda jika ksemua didasari dengan rasa cinta. Jadi, bekerja serius penuh kecintaan akan melahirkan pengabdian serta dedikasi terhadap pekerjaan.
6.      Kerja adalah Seni : Bekerja Cerdas Penuh Kreatifitas
Bekerja keras itu perlu, namun bekerja dengan cerdas sangat dibutuhkan. Kecerdasan disini dimaksudnya adalah menggunakan strategi dan taktik dengan pintar untuk mengembangkan diri, memanfaatkan waktu bekerja agar tetap efektif dan efisien, melihat dan memanfaatkan peluang kerja yang ada, melahirkan karya dan buah pikiran yang inovatif dan kreatif. Hasilnya tentu saja daya cipta kita bukan hanya disenangi oleh pemimpin perusahaan tetapi juga oleh orang lain karena semua yang kita hasilkan itu adalah karya seni.
7.      Kerja adalah Kehormatan : Bekerja Tekun Penuh Keunggulan
Kehormatan diri bisa kita dapat dengan bekerja. Melalui pekerjaan, maka kita dihormati dan dipercaya untuk memangku suatu posisi tertentu dan mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita termasuk segala kompetensi diri yang kita miliki, kemampuan dan kesempatan dalam hidup. Rasa hormat yang terbentuk dalam diri kita akan menumbuhkan rasa percaya diri yang akan meningkatkan kita untuk bekerja lebih tekun.
8.      Kerja adalah Pelayanan : Bekerja Paripurna Penuh Kerendahan Hati
Hasil yang kita lakukan dalam bekerja bisa menjadi masukan untuk orang lain dan begitu pula sebaliknya. Sehingga dari proses tersebut kita telah memberikan kontribusi kepada orang lain agar mereka bisa hidup dan beraktivitas dengan lebih mudah. Jadi, bekerja juga bisa kita golongkan sebagai salah satu bentuk pelayanan kita terhadap orang lain.
Politik kepemimpinan pemerintahan di jepang tidak membicarakan perseorangan tetapi membicarakan tim kerja. Bangsa Jepang sangat membanggakan grupnya, almamaternya, sukunya, bahkan negaranya. Itulah sebabnya untuk membeli produksi negara lain harus di kampanyekan dengan susah payah, namun orang Jepang tetapmembanggakan produksi dalam negerinya. Begitu cintanya bangsa Jepang pada negerinya. Maka siapa yang bersalah kepada bangsa Jepang di tuntut untuk bunuh diri (hirarki). Jadi bila seorang pemimpin pemerintahan bersalah di Jepang yang bersangkutan akan mengundurkan diri, sportifitas seperti ini sudah barang tentu sudah tidak ditemui di Indonesia. Setelah Perang Dunia Pertama, Jepang mengalami krisis ekonomi serta banyak bencana alam menghantam negerinya, sementara itu dalam dunia politik tampil kaum Hiper nasionalis di Jepang, yaitu sebagian besar perwira angkatan darat yang ambisius menaklukkan dunia, mereka berpendapat bahwa berbagai masalah yang sedang melanda Jepang dapat di atasi dengan cara ekspansi keluar dan pembaruan di dalam negeri matahari terbit tersebut. Sementara itu di Eropa terjadi peristiwa luar biasa, hal ini memberikan inspirasi bagi pemimpin Militer Jepang untuk bergabung dengan poros Berlin (Jerman) dan Roma (Italia), pada tanggal 27 desember 1940 jepang, Jerman dan Italia menandatangani perjanjian untuk saling membantu di bidang politik, ekonomi dan militer. 
Sejak itulah Jepang perencanaan gerakkan penaklukan asia Tenggara dan pasifik Barat Daya. Serbuan pertama memang direncanakan untuk menghancurkan Armada pasifik milik Amerika Serikat di Pearl Harbour. Sejak itulah perang dunia kedua dimulai dan namun akhirnya setelah menaklukkan asia, Jepang kalah juga.  Kini Jepang kembali memperbaiki diri, mata uang yen tetap kuat, strategi perdagangan computer tidak terkalahkan, bagaimanakah system pengaturan yang dilakukan oleh pemimpin pemerintahannya. Kepala negara Jepang adalah Kaisar mereka yang dihormati seperti Inggris menghormati kau kerajaan mereka, seperti Indonesia menghormati Falsafah Pancasila karena kaisar di anggap lambang pemersatu. Perdana Menteri (PM) Jepang mengepalai sebuah cabinet dan dimana PM sekaligus adalah pemimpin Partai mayoritas di majelis rendah (parlemen), dan secara kolektif bertanggung jawab kepada kokkai (Diet), PM dan kabinetnya harus meletakkan jabatan bila tidak memperoleh kepercayaan lagi dari majelis rendah. Majelis rendah (Shuggiin) dan majelis tinggi (sangiin) adalah dua badan yang terdapat dalam Kokkai (Diet). Majelis tinggi terdiri dari rakyat yang mewakili seluruh tanah air Jepang (dulu hanya mewakili kaum bangsawan), sedangkan majelis rendah memegang kekuasaaan legislative, anggotanya dipilih setiap empat tahun sekali, kecuali apabila dibubarkan lebih awal dari masa yang telah ditentukan. Kekuasaan yudikatif diserahkan kepada mahkamah agung yang membawahi badan Kehakiman (Peradilan) yang didirikan berdasarkan undang-undang. Jadi bebeda dengan Republic Indonesia yang membuat menteri kehakiman dan Hak Asasi Manusia berada di bawah Presiden mengelola para Hakim di Propinsi dan Kabupaten untuk persoalan Administrasi, sedangkan Mahkamah Agung untuk konsultasi hokum, artinya kekuasaan-kekuasaan eksekutif tetap terlalu kuat sepanjang menteri kehakiman dan hak asasi manusia itu sendiri belum dilikuidasi. Hal inilah yang di Negeri Jepang tidak terjadi. Walaupun mereka memiliki bentuk Negara Kerajaan namu dalam system Pemerintahannya, pemimpin pemerintahan tidak mengganggu kekuasaan peradilan Yudikatif. Selanjutnya sebagai konsekuensi tindakan Jepang pada Perang Dunia Kedua, Jepang hanya diizinkan PBB hanya untuk memiliki angkatan bela diri bagian laut. Darat dan Udara yang jumlah anggota dan persenjataan yang sangat di batasi. Suatu ketika nanti bisakah Jepang yang nasionalisnya sangat kuat ini memiliki dendam kepada negara yang pernah meluluh-lantakkannya dengan Bom Atom ini, yaitu Amerika Serikat, sejarah akan membuktikannya. 



BAB III
KESIMPULAN
Etika merupakan hal yang sangat penting dalam melaksanakan kegiatan admnistrasi publik. Dikatakan penting karena dapat meningkatkan kerja dari para administrator publik dan tingkat kepercayaan publik menjadi meningkat kepada administrator publik khususnya pemerintah. Etika juga menjadi sebuah patokan administrator publik dalam berkegiatan. Tentunya dengan kinerja yang meningkat dapat menaikkan ekonomi dari suatu negara. Di setiap negara tentunya emiliki etika administrasi publik.
Etika administrasi publik yang diterapkan di Jepang menurut kelompok kami patut ditiru oleh Indonesia. Dengan etos atau etika kerja yang telah kami bahas sebelumnya maka sudah dapat dipastikan kepuasan publik terhadap administrator publik dapat meningkat. Ekonomi juga akan bertumbuh dengan pesat sehingga secara perlahan-lahan negara tersebut akan maju. Selanjutnya jika etos kerja yang ada di Jepang diterapkan di Indonesia ada kemungkinan bahwa korups, kolusi, dan nepotiseme di Indonesia akan turun drasti.

Komentar