1. Periode
Undang-Undang Dasar 1945
Bentuk
negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27
Desember 1945 adalah Negara Kesatuan. Landasan yuridis negara kesatuan
Indonesia antara lain sebagai berikut .
a. Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang berbunyi:
“...
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
...” Hal tersebut menunjukan satu kesatuan bangsa Indonesia dan satu kesatuan
wilayah Indonesia .
b. Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :
“
Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.” Kata
Kesatuan dalam pasal tersebut menunjukkan bentuk negara, sedangkan Republik
menunjukkan bentuk pemerintahan.UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan
secara murni
Seperti
yang diajarkan Montesquieu dalam ajaran Trias
Politika.UUD 1945 lebih cenderung menganut prinsip Pembagian Kekuasaan (
Distribution of Power ). Dalam prinsip Pembagian Kekuasaan antara lembaga yang
satu dengan yang lainnya masih dimungkingkan adanya kerja sama menjalankan
tugas-tugasnya.
Menurut UUD 1945, seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa
kekuasaan-kekuasaan dalam negara di kelola oleh lima lembaga, yaitu .
a.
Legislatif, yang dilakukan oleh DPR.
b.
Eksekutif, yang di jalankan oleh presiden.
c.
Konsultatif, yang dijalankan oleh DPA.
d.
Eksaminatif (mengevaluasi ), kekuasaan inspektif ( mengontrol ), dan kekuasaan
auditatif (memeriksa ), yang di jalankan oleh BPK.
e.
Yudikatif, yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Namun,
pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945 kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai
dengan 27 Desember 1945 belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan
belum trebentuknya lembaga-lembaga negara seperti yang di kehendaki UUD 1945.
Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu Indonesia hanya ada presiden, wakil
presiden, dan menteri-menteri, serta KNIP. Oleh karena itu, sejak tanggal
18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif, legislatif,
dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu presiden dibantu
oleh KNIP. Jadi dapat dikatakan belum ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan
presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945
Namun, setelah munculnya Maklumat Wakil Presiden No. X (baca: teks ) tanggal 16
oktober 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan
legislatif dijalankan oleh KNIP dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih
tetap di pegang oleh presiden sampai tanggal 14 November.
Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, kekuasaan
eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan perdana
menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan
parlementer.
Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara kita masih berada masa
peralihan hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan seperti yang
diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat sepenuhnya dilasanakan. Namun, penjelasan
UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu. Menurut Pasal IV Aturan peralihan,
bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaan
negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
Namun dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu menuntut kekuasaan
legislatif kepada pemerintah / presiden sehingga keluarlah Maklumat Wakil
Presiden No. X, yang memberikan kewenangan kepada KNIP untuk
menjalankan
Kekuasaan
legislatif ( DPR / MPR ).
Penyimpangan kekuasaan KNIP menjadi lembaga legislatif ( parlemen ) waktu itu
dimungkinkan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada 14 November 1945,
yang menyatakan bahwa prinsip pertanggungjawaban menteri-menteri kepada KNIP
secara resmi diakui. Akibatnya, di bentuklah kabinet baru yang dipimpin oleh
Sutan Syahrir ( sebagai Perdana Menterinya ).
2. Periode
Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949
Menurut
ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sistem pemerintahan
yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem ini,
Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen ( Dewan Perwakilan Rakyat ), dan
apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka
dapat menyababkan bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan kabinet bergantung kepada
DPR.
Sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini.
a.
Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun
sendiri-sendiri bertangggung jawab kepada parlemen.
b.
Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.
c.
Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan
yang ada dalam parlemen.
d.
Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara
dengan saran perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan
diadakannya pemilihan umum.
e.
Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.
f.
Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta
pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.
Dengan
demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan
parlementer adalah sebagai berikut.
a.
Sistem pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara pasti
seorang presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang menjadi kepada
negara bisa presiden, raja, atau kaisar.
b. Sistem
pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah
pengawasan parlemen,sedangkan dalam sistem pemerintahan presindensial
pemerintah tidak bertnggung jawab kepada parlemen / DPR.
Sejarah
sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan
bergeser dari tangan presiden kepada menteri atau menteri-menteri . setiap
undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda tangan menteri
(contra seign ministry ). Dengan demikian, presiden tidak dapat di ganggu-
gugat. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan suatu
undang-undang adalah para menteri, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Konstitusi RIS 1949, dapat di simpulkan bahwa
Konstitusi RIS 1949, dipengaruhi oleh Montesquieu, namun tidak menganut
teori tersebut secara murni. Konstitusi RIS 1949 menganut Pembagian Kekuasaan,
sedangkan Montesquieu menganjurkan Pemisahan kekuasaan. Selain
itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga kekuasaan/lembaga, tetapi
terbagi dalam 6 lembaga negara.
Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS,
yaitu sebagai berikut.
a. Presiden.
b. Menteri-menteri.
c. Senat.
d. Dewan
Perwakilan Rakyat.
e. Mahkamah
Agung Indonesia
f.
Dewan Pengawas keuangan.
Diantara
badan-badan ( kekuasaan ) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja
sama dan pengawasan. Pembagian kekuasaan yang dimaksudkan itu adalah
sebagai berikut.
a. Kekuasaan
pembentukan perundang-undangan ( legislatif ) yang di jalankan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR dan senat .
b. Kekuasaan
melasanakan perundang-undangan atau pemerintahan negara (eksekutif)
yang dilakukan oleh pemerintah.
c. Kekuasaan
mengadili pelanggaran perundang-undangan (yudikatif oleh Mahkamah Agung).
Menurut
Konstitusi RIS 1949 bahwa kekuasaan pembentukan perundang-undangan federal
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap
undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara
pemerintah federal dengan negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya
di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Oleh karena itu, agar suatu undang-undang mempunyai
kekuatan mengikat maka harus disetujui oleh DPR dan senat serta disahkan oleh
pemerintah. Dalam hal pengesahan ini suatu undang-undang selain ditandatangani
oleh presiden juga ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap
materi undang-undang tersebut.
Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan senat dalam melaksanakan kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian
pula pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar
memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat . jadi, dalam hal ini antara
pemerintahan dan DPR dan senat terdapat hubungan yang bersifat kerja
sama.
Mahkamah Agung berfungsi sebagai penilai masalah
penerapan atau pelanggaran hukum dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang berwenang melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun
pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi
nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang
telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik
tidak sesuai dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945, Pancasila,
dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu,muncullah berbagai reaksi dan
unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran negara RIS dan kembali
ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas desakan itu maka tanggal 8
Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11
Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara perubahan susunan kenegaraan RIS.
Dengan adanya undang-undang tersebut hampir semua negara bagian RIS
menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian, yaitu
Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur.
Keadaan itu mendorong negara RIS berunding
dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada 19 Mei 1950, dicapai
kesepakatan membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan. Disebutkan pula bahwa Negara
Kesatuan itu akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan
unsur-unsur UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara
Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno
terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Sejak
saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.
3. Periode UUDS
1950
Bentuk negara yang dianut Negara Indonesia pada masa
berlakunya bentuk UUDS 1950 adalah negara kesatuan. Hal tersebut ditegaskan
dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang berbunyi, “Republik Indonesia yang merdeka
dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Bentuk
negara kesatuan merupakan kehendak rakyat Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam
UU No. 7 Tahun 1950. Selain itu, pada bagian Mukaddimah UUDS 1950 alinea 4
disebutkan : “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam Negara yang berbent uk Republik
Kesatuan...”
Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah
sistem pemerintahan parlementer. Dengan demikian, sistem pemerintahan yang
digunakan pada masa Konstitusi RIS 1949 masih dipertahankan oleh UUDS 1950.
Sebagai dasar hukum UUDS 1950 mengatur sistem pemerintahan parlementer, dapat
dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut ini.
Dalam
pasal 45 disebutkan “Presiden ialah Kepala Negara”. Karena presiden sebagai
kepala negara, ia tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan
pemerintahan. Pernyataan pasal 45 tersebut kemudian dipertegas oleh pasal 83
ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1) Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat;
(2) Menteri-menteri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama
untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Berdasarkan
pasal tersebut, jelaslah bahwa yang bertanggung jawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut harus
bertanggung jawab atas kebijakannya kepada parlementer DPR.
Ketentuan
lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer
adalah pasal 84, yang berbunyi : “Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat”. Keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula
untuk mengadakan pemilihan DPR baru dalam 30 hari.
Masa
berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya kabinet sehingga pemerintahan
tidak stabil. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut.
a.
Adanya sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai (banyak
partai).
b.
Perjuangan partai-partai politik hanya untuk berkepentingan golongan atau
partainya.
c.
Pelaksanaan sistem demokrasi yang tidak sehat.
Oleh karena itu, baik UUD RIS maupun UUD 1950 menggunakan
Pancasila sebagai dasar negara hanya dalam ketentuan formal, sedangkan jiwa
kekeluargaannya belum mampu dilaksanakan secara operasional.
Pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-kekuasaan
negara dipegang oleh beberapa alat perlengkapan negara. Hal ini berarti
kekuasaan dalam negara tidak dipegang atau dipusatkan pada satu badan atau
lembaga.
Berdasarkan
Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan negara adalah sebagai berikut :
a.
Presiden dan Wakil Presiden;
b.
Menteri-menteri;
c.
Dewan Perwakilan Rakyat;
d.
Mahkamah Agung;
e.
Dewan Pengawas Keuangan.
Sebagaimana undang-undang dasar sebelumnya, dalam UUDS
1950 pun menganut ajaran pembagian kekuasaan. Hal ini terbukti dengan
ditentukannya badan-badan yang memegang ketiga kekuasaan tersebut.
a.
Kekuasaan pemerintah negara (eksecutive power) dilakukan oleh dewan menteri.
b.
Kekuasaan perundang-undangan (legislative power) dilakukan oleh pemerintah
bersama-sama dengan DPR.
c.
Kekuasaan kehakiman (yudicative power) dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sesuai dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS
1950, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif) dilakukan sepenuhnya oleh dewan
menteri sehingga kebijaksanaan pemerintah dipertanggung jawabkan oleh dewan
menteri kepada DPR. Namun, mereka juga harus memperhatikan kebijaksanaan
presiden/kepala negara. Begitu pula mengenai hal-hal yang penting atau
menyangkut kepentingan nasional, dewan menteri baik secara kolektif maupun
sendiri-sendiri berkewajiban memberitahukan kepada presiden.
Kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dilakukan
oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali dalam perubahan
undang-undang dasar. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak untuk mengajukan
rancangan undang-undang. Selama masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950,
hak tersebut pernah digunakan oleh DPR sebanyak delapan kali. Dengan demikian,
pemerintah (presiden dan menteri-menteri) dan DPR harus bekerja sama dibidang
legislatif karena setiap undang-undang harus memperoleh persetujuan DPR dan
pengesahan pemerintah.
Pengesahan pemerintah dilakukan dengan cara
menandatangani undang-undang oleh presiden dan menteri yang bersangkutan dengan
menteri undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa antara pemerintah dan DPR
terdapat hubungan yang bersifat kerja sama.
Bidang yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung. Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2 UUDS 1950. Mahkamah Agung adalah
pengadilan negara tertinggi yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas
perbuatan pengadilan-pengadilan lain, berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan
dengan undang-undang. Di samping itu, Mahkamah Agung dapat memberi nasihat
kepada presiden berkenaan dengan pemberian grasi atas hukuman yang telah
dijatuhkan oleh pengadilan.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli
1959, berlakulah kembali UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pemerintahan
Republik Indonesia. Pada masa itu demokrasi liberal yang di praktikkan pada
masa berlakunya UUDS 1950 tidak dipergunakan sistem Demokrasi Terpimpin.
UUDS
1950 pun menganut sistem pemerintahan kabinet parlementer. Hal ini tampak jelas
dari pasal 83 UUDS 1950 yang menyebutkan ketentuan sebagai berikut.
Ayat
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
Ayat
2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah,
baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri.
Kemudian
pasal 84 UUDS 1950, menyatakan bahwa : “Presiden berhak membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat”, dengan ketentuan harus mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan
Rakyat baru dalam 30 hari.
UUDS
1950 inipun bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134 bahwa,
“Konstituante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang
Dasar Sementara ini”.
Badan Konstituate yang diserahi tugas membuat undang-undang
dasar baru tetap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini
memancing berkembangnya persaingan politik yang membawa akibat luas dalam
berbagai tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi gawat itu
mendorong presiden mengajukan konsepsinya mengenai sistem Demokrasi Terpimpin
dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan didepan sidang pleno
DPR hasil Pemilu tahun 1955.
Perdebatan terus berlarut-larut tanpa menghasilkan
suatu keputusan penting, sementara keadaan negara semakin gawat dan tidak
terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa negara Indonesia.
Keadaan itu mendorong Presiden Soekarno menggunakan wewenangnya, yakni dengan
mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang berisi :
a.
Pembubaran Badan Konstituante;
b.
Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
c.
Pembentukan MPR dan DPA sementara.
4. Periode
Berlakunya Kembali UUD 1945
a.
Periode Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966)
Para
pembentuk UUDS 1950 sejak semula menyebutkan bahwa UUD tersebut masih bersifat
sementara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 134 yang berbunyi : “Konstituante
(Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah
selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS
ini”. Mengingat UUDS 1950 masih bersifat sementara, maka harus ada UUD yang
tetap yang akan ditetapkan oleh Konstituate bersama-sama dengan pemerintah.
Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan anggota-anggota
Konstituate harus diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum untuk
anggota Konstituante tersebut, baru dapat diselenggarakan pada bulan Desember
1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama konstituante dibuka di Bandung oleh
Presiden Soekarno. Pada saat itu Presiden Soekarno untuk kali pertama
memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Rakyat dan pemerintah sangat berharap Konstituante
dapat membentuk UUD baru dengan segera. Dengan munculnya UUD baru diharapkan
dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai kurang baik. Lebih dari
dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD baru.
Ketika, itu perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan didalam gedung
Konstituante mengenai dasar negara telah menjalar keluar gedung Konstituante,
sehingga diperkirakan akan menimbulkan ketegangan politik dan fisik di kalangan
masyarakat.
Perdebatan-perdebatan dikalangan anggota Konstituate
tentang dasar negara sulit untuk diselesaikan. Sehubungan dengan itu, pada
bulan Maret 1959 pemerintah memberikan keterangan dalam sidang pleno DPR
mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945. Perdana
Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada UUD 1945 itu harus
dilakukan secara konstituante untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara
Republik Indonesia.
Mengingat suhu politik yang semakin “memanas”, pada 22
April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada Konstituante. Amanat
tersebut memuat anjuran kepala negara dan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945.
Disamping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi Terpimpin, yaitu sebagai
berikut.
1) Demokrasi
Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi Sentralisme dan berbeda
pula dengan Demokrasi Liberal yang dipraktikkan selama ini.
2) Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa
Indonesia.
3) Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang
meliputi bidang-bidang politik dan sosial.
4) Inti
dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah pemusyawaratan yang “dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri
dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra”.
5) Oposisi
dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam
alam Demokrasi Terpimpin.
6) Demokrasi
Terpimpin merupakan alat, bukan tujuan.
7) Tujuan
melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu masyarakat yang adil
dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materil dan spiritual, sesuai
dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
8) Sebagai
alat, Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara,
tetapi dalam batas-batas tertentu.
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945
tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituate, namun dengan
pandangan yang berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali kepada UUD 1945
secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi dengan
amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 harus diubah dengan sila ke satu Pancasila seperti tercantum dalam
Piagam Jakarta. Adapun prosedur untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya adalah sebagai berikut :
1) Setelah
terdapat kata sepakatantara Presdiden dan Dewan Menteri maka pemerintah minta
supaya diadakan sidang pleno Konstituante.
2) Atas
nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan pasal 134
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi “anjuran”
supaya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 ditetapkan.
3) Jika
anjuran itu diterima oleh Konstutuante, pemerintah atas ketentuan pasal 137
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 mengumumkan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 itu dengan keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan
dengan suatu piagam yang ditanda tangani dalam suatu sidang pleno Konstituante
di Bandung oleh presiden, para menteri, dan para anggota Konstituante, yang
antara lain memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.
Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante
tidak dapat mengambil keputusan untuk menerima anjuran tersebut. Hal ini
sah-sah saja mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk
undang-undang dasar ada di tangan Konstituante, sedangkan pemerintah yang
melandaskan pada pasal 137 hanya berwenang mengesahkan dan mengumumkan. Langkah
yang dilakukan oleh pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk intervensi
kewenangan dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah maka presiden
mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali
kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Dengan
Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-lembaga negara belum
lengkap maka dilakukan beberapa langkah sebagai berikut.
1) Pembaruan
susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960.
2) Penyusunan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4
Tahun 1960. Dalam Pasal ditentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat diberhentikan dengan Hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal
pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh presiden.
3) Untuk
melaksanakan Dekrit Presiden, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
4) Penyusunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun
1960.
5) Dikeluarkan
Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Ditinjau dari aspek konstitusional, langkah-langkah
penyusunan DPRGR dan MPRS yang dilakukan dengan Penetapan Presiden jelas
menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit Presiden. Apalagi
langkah seperti ini terlebih dahulu diawali dengan pembubaran Dewan Perwakilan
Rakyat hasil Pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Lain
daripada itu, dalam sistematika UUD 1945 produk hukum (perundang-undangan) yang
berbentuk Penetapan Presiden sama sekali tidak dikenal. Oleh sebab itu
langkah-langkah yang diambil oleh presiden dalam rangka melaksanakan Demokrasi
Terpimpin dan kembali ke UUD 1945 justru merupakan langkah-langkah yang
menyalahi konstitusi. Bahkan dalam melakukan langkah-langkah ini presiden
melandaskan pada pasal IV aturan Peralihan UUUD 1945, juga masih belum dapat
dikategorikan bersifat konstitusional, sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah
terbentuk melalui Pemilu tahun 1955.
Dengan
demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat
dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Banyak
penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut.
1) Lembaga-lembaga
negara seperti MPR, DPR, DPA belum dibentuk berdasarkan undang-undang.
Lembaga-lembaga negara ini masih bersifat sementara
2) Pengangkatan
presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No.
III/MPRS/1963. Ketetapan ini melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang
tegas-tegasnya menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya
selama masa 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa
penyimpangan-penyimpangan konstitutional ini mencapai puncaknya dibidang
politik dan peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi
perdebatan sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa gerajan 30 September
1965 masih menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku
sejarah yang mencoba melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak
dokumen yang hilang.
Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi
tersebut, yang jelas peristiwa 30 September 1965 telah menimbulkan kekacauan
sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan “sejarah
hitam” dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari
peristiwa seperti ini adalah jatuhnya legitimasi presiden Soekarno dalam
memegang tampuk kekuasaan negara. Letimasi itu semakin terpuruk dengan
dikeluarkannya surat perintah 11 maret 1966 (Supesemar) yang pada hakikatnya
merupakan perintah dan presiden kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengambil
segala tindakan dalam menjamin keamanan dan ketentraman serta stabilitas
jalannya pemerintahan. Keberadaan supersemar itu sendiri sampai sekarang masih
misterius. Bahkan, penerbitan surat perintah seperti ini juga masih memunculkan
berbagai kontroversi. Kemudian dengan ketetapan MPRS No. IX MPRS 1966, Surat
Perintah 11 Maret 1966 dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR
RI hasil pemilihan umum yang akan datang.
Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan
diselenggarakan pada 5 Juli 1968 tertunda sampai 5 Juli 1971 dan mengingat
telah dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan
Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Tangan Presiden Soekarno. Demi terciptanya
kepimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik, ekonomi
dan hankam dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang
pengangkatan pengemban ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara No.
IX/MPRS/1966 sebagai presiden republik Indonesia, yang antara lain menyatakan :
“Mengangkat jenderal Soeharto sebagai presiden republik Indonesia sampai
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum”
b. Periode
Orde Baru (11 Maret – 21 Mei 1998)
Setelah turunnya Presiden Soekarno dari tampuk
kepresidenan, maka berakhirlah orde lama. Kepimpinan disahkan kepada jenderal
Soeharto mulai memegang kendali pemerintahan dan menanamkan era kepemimpinan
sebagai orde baru. Diera ini konsentrasi penyelenggaraan sistem pemerintahan
dan kehisupan demokrasi menitikberatkan kepada aspek kestabilan politik dalam
rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mencapai titik tolak tersebut,
dilakukanlah upaya-upaya pembenahan sistem ketatatnegaraan dan format politik
yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah sisi yang menonjol yaitu :
1) Adanya
konsep dwi fungsi ABRI;
2) Pengutamaan
Golongan Karya;
3) Magnifikasi
kekuasaan ditangan eksekutif;
4) Diteruskannya
sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat;
5) Kebijaksanaan
depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep massa mengambang
(floating mass);
6) Kontrol
atas kehidupan pers.
Konsep Dwi fungsi ABRI pada masa itu secara implisit
sebenarnya sudah dikemukakan oleh kepala staff angkatan darat, Mayjen A.H.
Nasution, tahun 1958 yaitu dengan konsep “jalan tengah”. Prinsipnya menegaskan
bahwa peran tentara, tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka,
melainkan juga mempunyai tugas-tugas dibidang sosial politik. Dengan konsep
seperti inilah dimungkinkan dan bahkan menjadi semacam kewajiban jikalau
militrer berpartisipasi dibidang politik. Penerapan konsepsi ini, menurut
penafsiran militer dan penguasaan orde baru memperoleh landasan urigis konstitusional
didalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan “ Majelis Permusyawaratan
rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut keaturan yang
ditetapkan dengan undang-undang”
Dengan demikian dibidang politik militer (TNI/POLRI),
memperoleh jatah dilembaga-lembaga politik (DPR dan MPR) melalui proses
penunjukkan dan pengangkatan. Artinya, militer secara otomatis akan memperoleh
jatah keanggotaan dilembaga-lembaga tersebut tanpa melalui proses pemilihan
umum. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya paradigma ketatanegaraan yang
tidak lazim dikenal didalam negara demokrasi.
Dibidang kepartaian, pada 27 Februari 1970, presiden
Soeharto mengadakan konsultasi dan parpol-parpol guna membahas gagasan untuk
mengelompokkan partai-partai politi yang ada. Gagasan tersebut akhirnya
diarealisasikan dalam pemilihan umum 1977. Pada pemilu tersebut terdapat 3
kakuatan sosial politik, yaitu 2 partai politik (PDI dan PPP) dan satu Golkar.
Keberadaan ketiga kekuatan sosial politik ini kemudian diperkuat dengan
keluarnya undang-undang no. 3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan
karya. Dengan UU inilah dalam kurun waktu lebih kurang 32 tahun konstelasi
politik Indonesia hanya membatasi adanya 2 partai politik dan Golkar sebagai
kekuatan sosial politik yang sah berhak hidup dinegara kesatuan republik
Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap pemilihan umum,
yang diselenggarakan orde baru, Golkar selalu berhasil menjadi single
majority, dan setiap pemilihan presiden RI, Soeharto selalu dapat
terpilih kembali secara aklamasi kondisi semacam ini mengakibatkan adanya dua
fenomena ketatanegaraan indonesia. Pertama sistem ketatanegaraan yang di
jalankan pada waktu itu lebih menekankan pada kestabilan politik dan memang
berhasil. Kedua, terjadi pemasungan hak-hak politik bagi warga negara,
khususnya dalam hal berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat baik
tertulis maupun lisan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orde baru memang berhasil
dalam mewujudkan stabilitas politik. Pembangunan dapat berjalan secara bertahap
berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%. Indonesia telah mampu
berswasembada pangan. Indikator-indikator inilah yang dipergunakan untuk menilai
keberhasilan orde baru. Akan tetapi, sebaliknya dilingkungan infrastruktur
politik, telah terjadi pembelengguan hak politik bagi warga negara. Puncak dari
kesadaran semacam ini adalah terjadinya garakan reformasi sebagai akibat adanya
krisis multi dimensional pada akhir 1997 dan awal 1998. Kemudian karena krisis
multi dimensional tersebut tidak dapat terselesaikan dengan segera diawali
dengan terjadinya kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 presiden soeharto meletakkan
jabatannya pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden B.J
Habibie.
Penggantian jabatan tersebut menurut sementara pihak
merupakan langkah konstitusional,sebab pasal 8 UUD 1945 telah menagaskan bahwa
“ jika presiden mangkar, berganti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya,ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis waktunya.”
Namun dipihak yang lain, proses penggantian tersebut dianggap inkonstitusional.
Bagi pihak yang menganggap pergantian tersebut adalah inkonstitusional,
dilandasi oleh adanya anggapan bahwa proses pegantian tersebut tidak ditandai
dengan penyerahan kembali mandat yang diterima oleh Soeharto kepada MPR.
Dalam teori perundang-undangan dikenal adanya dua
jenis Ketetapan MPR jika ditinjau dari sifatnya, yaitu Ketetapan MPR yang
bersifat perundang-undangan dan Ketetapan MPR yang bersifat bukan
perundang-undangan. Ketetapan MPR yang memberikan mandat presiden, pada
hakikatnya tidak dapat dikatagorikan bersifat perundang-undangan. Hal ini
mengingat suatu produk hukum disebut perundang-undangan, kalau bersifat dan
mengikat umum. Ketetapan tersebut sifatnya kongkrit, individual, dan final.
Oleh sebab itu, ketetapan MPR yang mengangkat Soeharto sebagai Presiden bisa
dikatakan mirip dengan Ketetapan Tata Usaha Negara. Berdasarkan sifat seperti
itulah, peralihan Jabatan Presiden dari Soeharto kepada Wakil Presiden (B. J.
Habibie) harus diawalin dengan penyerahan mandat ( Ketetapan MPR ) terlebih
dahulu. Pendek kata mandat sebagaimana digariskan oleh Ketetapan MPR tidak
dapat dialihkan begitu saja. Walaupun demikian, pemerintahan tetap jalan dengan
mengangkat B.J. Habibie sebagai Presiden RI ketiga.
5. Periode
Reformasi
Setelah “tumbangnya” Orde Baru maka dimulailah
pentahapan konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi tersebut
antara lain adalah melakukan perubahan dan penggantian berbagai peraturan
perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi
dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Adapun peraturan perundang-undangan yang
mengalami perubahan atau penggantian bahkan dihilangkan dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai berikut.
a.
Ketetapan MPR No,IV/MPR/1983 tentang Referendum.
b.
Undang-Undang No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.
c.
Undang-Undang di bidang politik (UU Susduk MPR/DPR/DPRD,UU Pemilihan Umum, UU
Partai politik dan Golongan Karya ). Undang-undang ini kemudian diganti dengan
Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD, UU No. 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik, dan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
d.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di Daerah, diganti dengan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang sering
disebut sebagai Undang-undang tentang Otonomi Daerah.
Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa
Indonesia mencapai puncak dengan mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk
kepemimpinan nasional pada 20 Mei 1998. Selama Presiden Soeharto memegang
tampuk kekuasaan pemerintahan negara dengan akulumasi tenggang waktu lebih
kurang 30 tahun, sistem pemerintahan Indonesia mengarah kepada supremasi
eksekutif. Artinya, kekuasaan Presiden RI telah merambah ke tiga cabang
kekuasaan lain dan bahkan secara politis cabang-cabang utama kekuasaan, seperti
DPR dan MPR telah terkooptasi oleh kepentingan dan kehendak presiden. Model
supremasi eksekutif ini mengakibatkan langgam politik ketatanegaraan Indonesia
justru mengarah pada pola otoriterisme.
Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan
akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan menjadi lemah, sehingga kontrol
terhadap pelaksanaan pemerintah menjadi tidak berjalan. Akibat dari kesemuanya
itu adalah krisis multidimensional yang dialami oleh Indonesia dipertengahan
tahun 1997 tidak dapat tertanggulangi. Bahkan, keterpurukan moralitas
penyelenggaraan negara melalui apa yang disebut Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme
( KKN ) menjadi faktor pendukung utama keterpurukan Indonesia di bidang
ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya.
Gerakan reformasi yang dikumandakan oleh mahasiswa
Indonesia tersebut, sejatinya bukanlah merupakan gerakan yamg berdiri sendiri.
Gerakan ini pada hakikatnya merupakan imbas dari gerakan-gerakan demokrasi yang
berkembang di belahan dunia lain yang oleh samuel P. Huntington dikatakan
sebagai efek “bola salju”. Berkaitan dengan hal inilah. Samuel P.
Huntington mengemukakan bahwa proses demokratisasi pada umumnya
melalui tiga periode, yakni periode pengakhiran rezim non demokrasi, pengukuhan
rezim demokrasi, dan pengkonsolidasian sistem yang demokrasi.
Bertitik tolak dari gambaran tersebut, Reformasi
Indonesia yang utama adalah menuju tatanan kehidupan ketatanegaraan yang
demokratis dapat dilihat dari ketiga periode sebagaimana dikemukakan oleh
Huntington. Ketiga periode yang dimaksud adalah pertama, pengakhiran rezim
nondemokratis, yakni ditandai dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto
sebagai akibat ketidakmampuannya dalam mempertahankan legitimasi di hadapan
masa rakyat dan mahasiswa. Kedua, pengukuhan rezim demokratis yang ditandai
dengan dilaksanakannya Pemilu tahun 1999 dengan sistem multipartai. Dalam
pemilu ini telah dihasilkan DPR dan MPR dengan komposisi yang relatif heterogen
dan tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas di kedua
lembaga tersebut. Dalam periode ini pula telah terpilih presiden dan wakil
presiden yang memang sejak semula dianggap demokratis dan populis, yakni Abdurrahman
“Gus Dur” Wahid, sebagai Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai
Wakil Presiden. Ketiga periode konsolidasi sistem demokratis ditandai dengan
adanya pembenahan struktur ketatanegaraan Indonesia, misalnya dengan
dibentuknya Paket UU dibidang Politik, UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan yang paling penting adalah
dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR melalui Panitia Ad Hoc I MPR-RI.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses amandemen UUD 1945 merupakan
sarana untuk melaksanakan konsolidasi sistem demokrasi.
Didalam amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain
ditegaskan bahwa sistem Pemerintahan Presidensial akan tetap dipertahankan dan
bahkan diperkuat melalui mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara
Langsung. Terkait dengan penegasan sistem pemerintahan negara Indonesia,
pasal-pasal dari UUD 1945 yang terkait dengan hal tersebut dan telah
diamandemen untuk pertama kali adalah sebagai berikut.
a.
Pasal 5 ayat 1 menegaskan “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal ini dulunya berbunyi “Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat". Pasal ini dulunya berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
b.
Pasal 7 menegaskan : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan yang selama
lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan”. Pasal ini merupakan bentuk perubahan yang sangat
signifikan dari ketentuan yang sebelum diamandemen yang menegaskan: “Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali”.
Perubahan
ini dikatakan cukup signifikan karena sebelum pasal tersebut dilakukan
perubahan, pasal tersebut menjadi dasar konstitutional bagi Presiden Soeharto
untuk dipilih berulang kali sehingga total waktu yang dipergunakan oleh
Presiden Soeharto untuk memangku jabatan Presiden menjadi kurang lebih 30
tahun. Suatu akumulasi masa jabatan yang luar biasa panjang.
c.
Pasal 17 ayat 2 menyatakan : “Menteri-menteri diangkat dan di berhentikan oleh
Presiden”.
d.
Pasal 20 ayat 1 menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang”.
Kendati Pasal-pasal UUD 1945 yang suda diamandemen
tersebut memberikan indikasi pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam
praktik penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia, sistem presidensial ini masih
belum dilaksanakan secara murni. Hal ini tampak jelas tertuang di dalam Tap MPR
No. IV/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Di dalam pasal 8 menyatakan sebagai berikut.
a.
Fraksi dapat mengajukan seorang Presiden.
b.
Calon presiden dapat juga dianjukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh orang
anggota Majelis yang terdiri atas satu fraksi atau lebih.
c.
Setiap anggota Majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan Calon
Presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini.
Dengan memperhatikan ketentuan seperti ini, tampak
jelas bahwa pemilihan presiden tidak dilakukan secara langsung, melainkan masih
merupakan wewenang dari MPR melalui pengusulan oleh anggota MPR maupun fraksi
(sebagai perpanjang dari parpol peserta pemilu ). Ini berarti dalam hal
rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap mempergunakan pola sistem
parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer ini semakin menunjukkan eksitensinya ketika
Presiden Abdurahaman “gus Dur” Wahid memperoleh memorandum I, II, dan III oleh
DPR karena dianggap terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan bantuan
dari sultan Brunei. Kasus ini disebut sebagai kasus “Buloggate” dan
“Brunaigate.”
Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini mengakibatkan Presiden Gus Dur
“dilengserkan” oleh MPR melalui keputusan pada sidang Istimewa MPR tahun 2001.
Perlu diketahui dalam sidang tersebut Presiden Gus Dur tidak bersedia untuk
hadir. Bahkan , Beliau berniat mengeluarkan suatu Dekrit Presiden untuk
memubarkan MPR dan DPR, dengan alasan menghadiri Sidang Istimewa tersebut
berarti bisa dianggap melanggar UUD 1945 mempergunakan sistem presidensial,
bukan parlementer.
Peristiwa ketatanegaraan tersebut, merupakan peristiwa yang kedua setelah
Sidang Istimewa MPRS pada tahun 1966 yang berakibat jatuhnya kekuasaan Presiden
Soekarno dari tampuk kepemimpinan nasional. Presiden gus Dur selanjutnya digantikan
oleh Wakil Presiden, Megawati Soekarnoputri. Kemudian, dalam sidang Tahunan MPR
tahun 2001, Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi Presiden dan didampingin
olehHamzah Haz sebagai Wakil presiden. Peristiwa-peristiwa
ketatanegaraan Indonesia semacam ini masih mengindikasikan bahwa sistem
pemerintahan yang dilaksanakan dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan
Indonesia adalah sistem parlementer.
Berdasarkan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, didalam amandemen keempat UUD 1945
ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, akan dipilih secara langsung oleh
rakyat. Dia tidak bertanggungjawab kepada Majelis ynag terdiri atas dua kamar,
yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Konstruksi semacam
ini telah menghentikan konflik ketatanegaraan yang selama ini mewarnai sistem
pemerintahan di Indonesia. Di dalam Pasal 6A UUD 1945, antar lain ditegaskan
sebagai berikut.
(1) Presiden
dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan
Colon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tesebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam
hal tidak pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang mempeoleh suara rakyat
terbanyak dilantik sebagai pasangan presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata
Cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi
bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, melainkan bertanggungjawab
secara langsung kepada rakyat. Berkaitan dengan hal ini, pasal 3 Ayat 3
amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa “Majelis Permusyawaratan rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-undang Dasar”. Menurut Pasal 7 A UUD 1945, pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat ini atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden.
Untuk mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tersebut,
Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah
konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat tentang adanya indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
presiden dan/ atau wakil presiden. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD 1945
secara lengkap menyatakan sebagai berikut.
(1) Usul
Pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili dan mengutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/
atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/ atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/ atau Wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan
Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah
Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat sembilan puluh
hari setelah pemintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah
konstitusi.
(5) Apabila
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pindana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menuyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Pemusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusab
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna. Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban tersebut, setelah UUD 1945 diamandemen, terdapat perubahan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang cukup fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.
a.
Sistem pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensial murni.
b.
Presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen yang terdiri atas dua kamar
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
c.Di
bidang politik, kedudukan presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen
sama-sama kuat. Artinya antara kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan.
d.
Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi yang
mempunyai wewenang untuk melakukan impeachment kepada presiden
dan/atau wakil presiden jikalau ditengarai telah melakukan pelanggaran hukum
berat. Hal ini berarti presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat dijatuhkan,
jika melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat yuridis.
e.
Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada presiden dan/atau wakil presiden
kepada parlemen harus diawali dengan adanya pertanggungjawabkan hukum
(yuridis). Adapun untuk pertanggungjawaban politis merupakan konsekuensi logis,
jika presiden dan/atau wakil presiden telah melaksanakan pertanggungjawaban
hukum tersebut. Hal ini berarti telah mengubah paradigma yang selama ini
mewarnai sistem pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam paradigma lama, pertanggungjawaban
presiden dan/atau wakil presiden lebih menekankan pada pertanggungjawaban
politis.
KESIMPULAN
· Kurun
waktu berlakunya UUD 1945 pertama (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949), yaitu
a.
Bentuk Negara Kesatuan
b.
Bentuk Pemerintahan Republik
c.
Sistem Pemerintahan Kabinet Presidensial
· Kurun
waktu berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), yaitu
a.
Bentuk Negara Federasi atau Serikat
b.
Bentuk Pemerintah Republik
c.
Sistem Pemerintahan Kabinet Parlementer
· Kurun
Waktu Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), yaitu
a.
Bentuk Negara Kesatuan
b.
Bentuk Pemerintahan Republik
c.
Sistem Pemerintahan Kabinet Parlementer
· Kurun
waktu berlakunya UUD 1945 kedua (5 Juli 1959 – Sekarang), yaitu
a.
Orde Lama (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966)
b.
Orde Baru (11 Maret 1966 – 21 Mei 1998)
c.
Reformasi (21 Mei 1998 – Sekarang)
KOMENTAR
Indonesia memiliki ketatanegaraan
yang selalu berubah. Hal tersebut dilakukan dan dianggap sebagai pendewasaan
negara Indonesia. Memang meiliki keburukan dan kebaikan, namun hal tersebut sangat
penting dilakukan suatu negara yang notabene masih muda dan masih menjadi
negara berkembang.
Komentar
Posting Komentar